Ketika adikku memasuki tahun terakhir SMP-nya, ia berhasil lulus ujian dan diterima di SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke universitas propinsi.
Malam itu, ayah duduk di luar rumah, menghisap rokok tembakau dan bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya bergumam, "Anak-anak kita berdua telah memberikan hasil yang sangat baik. Hasil yang sangat baik." Ibu menghapus air mata yang mengalir dan menghela nafas, "Tapi bagaimana kita bisa membiayai keduanya?"
Adikku mendekat dan berkata, "Ayah, saya tidak ingin melanjutkan sekolah lagi, saya sudah belajar banyak." Ayah dengan cepat menegurnya dan menggebraknya, "Mengapa kamu begitu lemah? Meskipun aku harus mengemis di jalanan, aku akan memastikan kamu berdua menyelesaikan pendidikan kalian!" Ia kemudian menjalani perjalanan ke seluruh dusun, meminjam uang demi masa depan kami.
Aku meraih tangan adikku dengan lembut dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus menyelesaikan sekolahnya. Tanpa pendidikan, kita tidak akan pernah bisa keluar dari kemiskinan ini. Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak melanjutkan ke universitas."
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, adikku pergi. Ia meninggalkan beberapa helai pakaian lusuh dan beberapa kacang yang sudah mengering. Ia meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, dengan kata-kata, "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari pekerjaan dan mengirimkan uang kepadamu." Aku memegang kertas itu dan menangis sejadi-jadinya. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun dan aku 20.
Beberapa tahun kemudian, dengan uang yang ayah pinjam dari seluruh dusun dan uang yang adikku hasilkan dari pekerjaan kerasnya di lokasi konstruksi, akhirnya aku bisa mencapai tahun ketiga di universitas.
Suatu hari, ketika sedang belajar di kamarku, teman sekamarku masuk dengan berita, "Ada seseorang dari dusun menunggumu di luar." Aku bergegas pergi dan melihat adikku dari kejauhan, tubuhnya penuh dengan debu semen dan pasir. Aku bertanya, "Mengapa kamu tidak mengatakan pada teman sekamarku bahwa kamu adalah adikku?" Dia tersenyum dan menjawab, "Lihat penampilanku. Apakah mereka tidak akan menertawakanmu jika tahu bahwa aku adalah adikmu? Aku tidak perduli, tapi aku tidak ingin mereka mengejekmu."
Aku merasa tersentuh dan air mata pun mengalir. Aku menghapus debu-debu dari tubuh adikku dan berkata, "Tidak perduli apa kata mereka, kamu adalah adikku, dan aku bangga padamu, tak peduli penampilanmu."
Dari saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut kupu-kupu. Ia memakainya padaku dan mengatakan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tak bisa menahan air mata dan menarik adikku ke dalam pelukanku, menangis. Tahun itu, ia berusia 20 dan aku 23.
Ketika aku menikah dan tinggal di kota, seringkali suamiku dan aku mengundang orangtuaku untuk tinggal bersama kami, tapi mereka selalu menolak. Mereka berkata, setelah meninggalkan dusun, mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan di kota. Adikku pun tidak setuju. Ia berkata, "Kak, kamu harus menjaga mertuamu. Aku akan merawat ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur di pabriknya, dan kami mencoba untuk memberikan adikku pekerjaan sebagai manajer di departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran itu. Ia lebih memilih menjadi pekerja pemeliharaan biasa.