Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nostalgia Berpuasa Ramadhan di SD yang Berbeda Agama

2 April 2023   10:16 Diperbarui: 2 April 2023   10:32 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya beragama Islam sejak lahir, tetapi saat SD dan kuliah di Perguruan Katolik. Saya anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Rata-rata kakak-kakak saya juga sekolah di Perguruan Katolik. Menurut orangtua, kami disekolahkan di sekolah Katolik karena disiplin dan kurikulumnya yang bagus pada saaat itu. Dan, memang dulu Sekolah Umum dari Yayasan Pendidikan Islam masih jarang, tidak seperti saat ini, dimana SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) ada di setiap pelosok.

Mungkin juga kami disekolahkan di Perguruan Katolik, karena almarhumah Ibu saya dulunya menerima pendidikan di Sekolah Belanda yang katanya disiplinnya tingkat tinggi. Sementara Ayah saya belajar di sekolah agama Parabek Padang Panjang. Untuk mengimbangi hal itu, pagi kami sekolah di perguruan Katolik dan siangnya kami belajar mengaji di madrasah. Dengan demikian, kami tetap menjalankan ibadah-ibadah agama Islam dengan baik setiap harinya.

Pada masa SD, adalah saat anak-anak belajar mulai berpuasa. Namun karena melihat semua kaka-kakak saya berpuasa, saya pun tidak mau ketinggalan berpuasa sejak TK di tahun 1970. Ibu saya hanya memperkenankan saya puasa setengah hari ketika itu, tapi saya sering bandel tidak mau berbuka pada saat azan dzuhur, tetapi ikut berpuasa sampai maghrib. Dan saat itu TK memang tidak sekolah di bulan Ramadhan.

Tibalah saatnya saya SD, semua sekolah waktu libur selama Ramadhan, tetapi tidak dengan sekolah saya di perguruan Katolik. Semuanya sekolah seperti biasa dari tingkat SD sampai SMA.

Ketika saya kelas 1 dan 2 jam sekolahnya hanya dari jam 7.30 sampai jam 9.30. Kelas 3 sampai kelas 6 sekolah dari jam 7.30 hingga jam 13.00. Saat Ramadhan di kelas 1 dan 2, tidak begitu terasa puasa di sekolah karena pas jam istirahat sekolah, kami sudah pulang.

Tantangan berpuasa mulai terasa di kelas 3 karena sekolah sudah full sampai siang dengan istirahat 2 kali. Pada saat istirahat mulailah tantangan itu terjadi, karena pada saat istirahat semuanya ke kantin atau membuka bekal di halaman sekolah. Banyak teman saya belum memahami puasa bagi umat Islam saat itu, sehingga sering menanyakan ke saya mengapa tidak ikut makan. Saya hanya bisa menahan diri, dan menjawab bahwa di agama saya harus berpuasa selama satu bulan.

Dan hal yang paling berat adalah ketika jam olahraga, saya harus ikut berlari-lari di lapangan olahraga sekolah. Alhamdulillah ketika itu hanya 1 hari yang saya batal puasa karena kelelahan habis olahraga.

Pada saat saya kelas 3 SD tersebut, saya batal 2 hari puasa. Satu hari lagi batal justru pada saat sekolah libur, di mana kami sekeluarga pergi keluar kota untuk berlebaran di luar kota karena melihat beberapa kakak-kakak saya tidak berpuasa karena katanya mereka sedang musafir.

Image: Saat kelas 3 SDK Santa Maria tahun 1974 (Photo by Merza Gamal)
Image: Saat kelas 3 SDK Santa Maria tahun 1974 (Photo by Merza Gamal)

Ketika kelas 4 saya full berpuasa selama satu bulan meskipun tetap sekolah dan mengikuti  jam pelajaran olahraga. Dan tahun itu kami tidak berlebaran keluar kota, sehingga tidak ada alasan musafir seperti tahun sebelumnya untuk tidak berpuasa.

Pada saat kelas 5, sebagian murid SD sudah mulai besar, dan jajannya tidak hanya di kantin sekolah lagi, tetapi di resto di depan sekolah. Inilah godaan terbesar, beberapa teman dekat saya suka iseng ngajak saya makan Ice Shanghai dan Martabak Mesir kesukaan kami saat jam pulang sekolah. Biasanya kami memang tidak diperbolehkan membawa uang jajan yang banyak di sekolah. Jika ketahuan, maka akan diambil oleh pihak sekolah, dan nanti Muder Kepala Sekolah akan memanggil orangtua kami dan membalikkan uang tersebut serta dapat peringatan.

Tapi kami tak pernah kehilangan akal untuk bisa jajan sepulang sekolah. Biasanya uang itu dititipkan pada supir yang mengantar jemput kami. Pada saat pagi uang itu dititipkan kepada supir, dan waktu pulang sekolah, tas sekolah kami simpan di mobil dan uang kami minta kembali, lalu kami pun jajan di Resto seberang sekolah. Supir pun menunggu hingga kami selesai makan dan bercengkramah.

Nah, pas bulan Ramadhan, teman-teman saya menggoda mengajak makan Ice Shanghai dan Martabak Mesir, terkadang Mie Seafood juga. Karena bulan puasa, saya pun tidak diberi uang jajan sama orangtua, maka mereka pun berkenan mau mentraktir saya. Saya bertahan untuk tetap puasa. Mereka bilang saya tidak setia kawan. Kata mereka lagi, bukankah kita belum dewasa,  sehingga tidak wajib berpuasa.

Mereka saja ketika menyambut Paskah, dan puasanya hanya pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung saja belum ikut berpuasa. Itu pun tidak full puasa makan minum seharian, tetapi hanya boleh makan satu kali dalam sehari dan makanan kedua harus sangat ringan sehingga tidak setara dengan satu hidangan penuh. Dan itu baru wajib saat umur 18 tahun. Lalu kata mereka, lah sekarang umur kita kan baru 11 tahun, mengapa harus berpuasa.

Akan tetapi saya tetap bertahan tidak mau ikut makan bersama mereka, dan alhamdulillah puasa saya full selama Ramadhan tahun itu. Kenangan tersebut menjadi sebuah noltagia yang mengesankan ketika kami bertemu atau reunian. Mereka mengatakan bahwa mental saya sudah kuat dari kecil, dengan tetap mempertahankan puasa meskipun di tengah orang tidak berpuasa dan diajak untuk ditraktir di resto saat itu.

Ketika kelas 6 SD, dimana kami sudah mulai pra remaja, godaan untuk tidak berpuasa semakin besar lagi. Anak-anak seumuran kami saat itu sudah mulai berbicara tentang lawan jenis. Jadi godaannya bukan hanya soal makan, tetapi juga soal bicara gossip-gosip lawan jenis. Apalagi ketika itu ada murid pindahan dari kota lain, anak pejabat suatu instansi pemerintah yang satu "genk" dengan kami.

Teman saya itu juga beragama Islam dan belum berpuasa di bulan Ramadhan. Sehingga hal itu menjadi bahan teman-teman saya untuk menggoda saya ikutan maka-makan pulang sekolah. Alhamdulillah saya bisa bertahan, dan full berpuasa selama satu bulan.

Tak terasa waktu pun berlalu, kami tamat dari SD Katolik dengan berbagai kenangan yang menjadi nostalgia menarik pada masa kecil sebelum kami beranjak menjadi remaja pada masa SMP. Hal-hal tersebut menjadi nostalgia indah ketika kami sudah dewasa dan bertemu kembali di berbagai kesempatan.

Itulah kenangan saya saat masih SD di Perguruan Katolik, tetapi saya tetap berpuasa karena jika tidak berpuasa, maka saya tidak bisa makan sama-sama dengan keluarga pada saat berbuka. Padahal, makanan saat berbuka enak-enak....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun