Sementara tugas saya di sebuah perbankan nasional mengharuskan saya setiap minggu melakukan perjalanan dinas ke luar Jakarta.
Saya mendengarkan vonis dokter di ruang yang terpisah dengan ruang pemeriksaan terakhir istri saya sebelum vonis itu keluar.
Saat saya menjemput istri saya ke ruangan periksa untuk pulang ke rumah, istri saya langsung memberondong dengan berbagai pertanyaan karena dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dokter ketika pemeriksaan terhadap dirinya.
Seperti hari-hari pemeriksaan sebelumnya, saya dan istri bertemu di Rumah Sakit. Istri saya dari rumah dan saya dari kantor yang tidak begitu jauh dari rumah sakit, dan setelah dari rumah sakit biasanya, kami kembali berpisah, istri pulang ke rumah dan saya kembali ke kantor. Namun, hari itu saya tidak kembali ke kantor.
Saya mencoba perlahan untuk memberi keterangan kepada istri, dan berusaha bagaimana istri saya jangan sampai tahu bahwa dia sudah menjelang stadium IV dan perkiraan usianya hanya 3-6 bulan saja jika tidak segera operasi. Kebetulan hari itu, adik istri saya yang saat itu bertugas di Merauke datang ke Jakarta untuk menemani pemeriksaan terakhir kakaknya.
Sejak pemeriksaan yang hasilnya mengarah ke kanker, seluruh kakak dan adik istri mulai khawatir dan bergantian ikut menemani dalam serangkaian pemeriksaan selama lebih 2 pekan tersebut.
Sebelum saya bertemu istri saya setelah dari ruang tim kesehatan yang menangani kasus istri saya, saya pun berbicara dulu kepada adik istri saya.
Saya sampaikan bahwa kakaknya positif kanker dan harus segera dioperasi. Namun, saya tidak menyampaikan bahwa kondisinya sudah menjelang stadium IV dan perkiraan usianya hanya tinggal 3 bulan. Istri saya sama sekali tidak terlihat sakit secara fisik dari luar. Jadi, agak sulit bagi kami semua untuk menerima kenyataan ini.
Adik ipar saya langsung menangis sesegukan dan dia pun menelepon kakak-kakaknya memberitahukan keadaaan istri saya kepada mereka. Saya pun beranjak ke kamar periksa untuk menjemput istri pulang ke rumah.
Seperti saya sampaikan di atas, istri saya langsung memberondong saya dengan berbagai pertanyaan. Saya coba jelaskan dengan hati-hati bahwa dia harus segera dioperasi agar benjolan itu tidak berkembang. Saya menyampaikan bahwa itu hanya tumor yang kemungkinan bisa berkembang menjadi kanker sehingga perlu tindak segera agar tidak berkembang.
Namun demikian, istri saya juga merasakan bahwa saya menyembunyikan sesuatu kepada dia. Dan, istri saya berkata bahwa dia siap melakukan apa pun agar tetap sehat dan bisa mengasuh anak-anak hingga dewasa. Saya mencoba untuk terus terlihat tegar di depan istri saya dan juga di depan keluarga dan anak-anak saya.