Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Resilience; dari Dunia Kesehatan ke Dunia Bisnis

23 Januari 2023   16:22 Diperbarui: 23 Januari 2023   16:35 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: KIta adalah bangsa yang tangguh dari jaman nenek moyang kita yang pelaut (by Merza Gamal)

Resilience (ketangguhan) adalah kemampuan untuk tidak hanya pulih dengan cepat dari krisis tetapi untuk bangkit kembali dengan lebih baik, dan bahkan lebih berkembang.

Resilience telah menjadi topik hangat dalam kesehatan, dalam dekade terakhir. Tantangan dalam kesehatan, pekerjaan, dan hubungan kita tidak bisa dihindari. Pada saat kini, secara umum diterima bahwa mempelajari keterampilan untuk pulih dari kesulitan adalah salah satu perjalanan pengembangan pribadi terpenting yang dapat kita lakukan.

Istilah resilience dalam dunia kesehatan diciptakan pada tahun 1970-an oleh seorang psikolog bernama Emmy E. Werner. Istilah resilience muncul ketika Emmy melakukan penelitian selama empat puluh tahun terhadap sekelompok anak Hawaii yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah. Resilience ada ketika orang mengembangkan kemampuan psikologis dan perilaku yang memungkinkan mereka untuk tetap tenang selama krisis/kekacauan dan beralih dari kejadian tersebut tanpa konsekuensi negatif jangka panjang.

Resilience dari makna psikologis berpusat di sekitar dua konsep, yakni: kesulitan dan adaptasi positif. Menurut para pakar psikologi bahwa emosi positif, dukungan sosial, dan sifat tahan banting dapat memengaruhi seseorang menjadi lebih tangguh. Istilah resilience ini kemudian berkembang dalam dunia bisnis.

Dalam dunia bisnis, resilience berarti menghadapi kesulitan dan guncangan, dan terus beradaptasi untuk pertumbuhan. Organisasi yang benar-benar tangguh tidak hanya bangkit kembali dengan lebih baik. Mereka benar-benar berkembang di lingkungan yang tidak bersahabat. Penelitian McKinsey tentang krisis keuangan tahun 2007--2008, menunjukkan bahwa perusahaan yang tangguh (resilience) tidak hanya mengungguli kompetitor melalui penurunan dan pemulihan. Akan tetapi, mereka juga berakselerasi menuju realitas baru, meninggalkan para kompetitor jauh di belakang.

Terkait dengan resilience dalam dunia bisnis. McKinsey bersama Federation of European Risk Management Associations (FERMA) melakukan sebuah survei tentang dampak COVID-19 terhadap  perusahaan. Survei tersebut melibatkan lebih dari 200 eksekutif senior dan profesional risiko dan asuransi dari berbagai negara dan sektor ekonomi. Temuan survei tersebut menyatakan bahwa lebih dari separuh responden percaya bahwa pandemi telah membuat risiko dan resilience jauh lebih penting bagi organisasi mereka.

Laporan eksekutif pada masa lalu, manajemen risiko hanya terfokus pada sejumlah kecil risiko yang terdefinisi dengan baik, terutama risiko keuangan. Namun pada masa kini, risiko mencakup kesehatan masyarakat dan tekanan lingkungan, ketidakpastian masyarakat, ketegangan geopolitik, di atas gejolak keuangan yang sama atau lebih buruk yang selalu mereka hadapi.

Beberapa temuan penting dari survei tersebut yang dapat kita pahami dan menjadi pembelajaran terkait resilience di dunia bisnis dalam menghadapi tekanan dalam menghadapi berbagai krisis yang datang silih berganti.

  • Selama masa pandemic Covid-19, banyak organisasi telah bekerja keras untuk melakukan resilience.  Keselamatan di tempat kerja dan kerja jarak jauh (WFH) telah menjadi fokus banyak perusahaan. Lebih dari 75 persen responden mengatakan langkah-langkah implementasi di kedua bidang ini sebagian besar telah selesai. Lima puluh dua persen responden mengatakan bahwa kapabilitas paling efektif yang mereka miliki berkaitan dengan pengelolaan resilience di sektor finansial.
  • Hampir dua pertiga perusahaan yang merespons mengatakan bahwa resilience merupakan pusat kemajuan strategis organisasi mereka, dan bahwa bidang resilience yang paling penting adalah digital, teknologi, keuangan, dan operasi.
  • Perencanaan skenario dan pengujian stress merupakan kemampuan pandangan jauh ke depan dan menjadi area inti untuk perbaikan. Akan tetapi, dalam penggunaan skenario dan latihan uji stress, para eksekutif berbeda pendapat. Sekitar setengah eksekutif jarang atau tidak pernah menggunakannya dalam pengambilan keputusan strategis, dan setengah yang lain sering atau selalu menggunakannya.
  • Fungsi risiko dan tim eksekutif memainkan peran yang jauh lebih besar daripada tim strategi dalam membangun organisasi yang tangguh. Model tata kelola risiko yang berfungsi dengan baik merupakan hal yang lebih baik daripada manajer risiko yang baik dalam meningkatkan manajemen krisis.
  • Sebagian besar manajer risiko (75%) percaya bahwa meningkatkan budaya risiko dan memperkuat integrasi resilience ke dalam proses strategi merupakan tindakan yang paling penting.

Image:  Memfokuskan upaya membangun resilience pada enam dimensi utama (by Merza Gamal)
Image:  Memfokuskan upaya membangun resilience pada enam dimensi utama (by Merza Gamal)

Terkait dengan resilience di dunia bisnis, agar organisasi dapat membangun ketahanan geopolitik di era pascapandemi dan merencanakan masa depan, para pemimpin bisnis harus memfokuskan upaya membangun resilience pada enam dimensi utama berikut ini:

1. Model bisnis

Pertama-tama BOD perlu memahami faktor geopolitik mana yang dapat memengaruhi organisasi mereka, dan memastikan bahwa informasi yang relevan dari seluruh organisasi disampaikan kepada BOD. Organisasi harus mengembangkan metode penyampaian yang sistematis, termasuk produk analitis, pengarahan singkat, atau latihan skenario untuk memandu pengambilan keputusan dan perencanaan yang cepat.

2. Reputasi

Organisasi perlu tahu apa yang mereka perjuangkan dan apa yang mereka lawan. Dalam situasi geopolitik yang tidak terlalu hitam-putih, organisasi dapat membuat "kesepakatan" khusus pasar yang menggabungkan manajemen risiko dan strategi perusahaan sehingga menjadi dasar bagi narasi yang modern, koheren, dan digerakkan oleh nilai tentang mengapa organisasi melakukan bisnis di pasar tertentu.

3. Organisasi

Membangun ketahanan organisasi, melalui pengembangan struktur tata kelola yang inklusif dan dialog yang terbuka dan jujur, dapat berkontribusi untuk mempertahankan kohesi budaya dan etos global.

4. Operasi

Organisasi harus fokus pada melindungi dan memutar rantai pasokan yang dicapai dengan mensimulasikan dan merencanakan gangguan ekstrem, dan menilai ketahanan pemasok seseorang. Setiap upaya untuk melakukan diversifikasi harus mempertimbangkan risiko politik memasuki pasar baru.

5. Teknologi

Ketegangan geopolitik telah menyebabkan internet mulai terpecah menjadi varian regional dan tumpukan teknologi. Perusahaan mungkin kesulitan mempertahankan konektivitas antar wilayah dan pengalaman pengguna yang konsisten. Persyaratan lokalisasi data menimbulkan tantangan tersendiri. Oleh karena itu, organisasi perlu mengelola akses data untuk memastikan kompartementalisasi yang tepat. Organisasi harus bisa memastikan berbagai urgensi teknologi, mulai dari serangan siber hingga meluncurkan peralatan teknologi baru di seluruh pasar.

6. Keuangan

Organisasi harus bisa memantau secara berkelanjutan segala risiko keuangan, seperti risiko valuta asing dan risiko suku bunga pasar. Saat ekonomi global terus mengalami guncangan, tantangan akan terus muncul pada aktivitas mulai dari memindahkan dana hingga membayar insan perusahaan. Mengembangkan protokol krisis sebelum krisis dapat membantu organisasi menghadapi badai.

Pada masa krisis, ketidakpastian tentang siapa yang memiliki keputusan akhir dapat menyebabkan penundaan yang merugikan. Pengambilan keputusan yang baik dengan waktu yang cepat, dilakukan dengan kemampuan membedakan antara jenis keputusan dan tingkat risiko yang mungkin terlibat. Mempersiapkan pengambilan keputusan yang baik dalam suatu krisis, salag satu caranya adalah dengan mempraktikkan ketenangan yang disengaja. Ketenangan yang disengaja merupakan suatu pendekatan untuk belajar dan memimpin dengan kesadaran dan pilihan yang disengaja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun