Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-15)

7 Desember 2022   06:51 Diperbarui: 7 Desember 2022   06:52 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai menelepon, aku pun beranjak ke ruang tengah keluarga. Aku lihat Mama dan Vera ada di sana. Aku ikut duduk dekat mereka berdua. Tidak lama Gustav pun turun dari kamarnya, dan kemudian Papa pun keluar dari kamar. Kemudian setelah kami berkumpul di ruangan itu, Mama pun mengajak beranjak ke ruang makan untuk makan siang.

Aku mencoba melupakan semua misteri hidupku, misteri siapa Ayahku sesungguhnya. Informasi Tante Nuniek bahwa Ayahku adalah orang Jerman, yatim piatu sejak kecil karena kedua orangtuanya meninggal di pengungsian saat perang dunia ke dua aku simpan dahulu sampai waktu yang tepat bisa bertanya kepada Ibu ketika aku sudah kembali ke Jakarta.

Ada baiknya aku mencoba menikmati kehidupan baru selama sisa waktu aku berada di Jerman bersama  keluarga yang menganggap aku sekarang adalah bagian keluarganya, saudara kembar yang hilang ketika bayi setelah perceraian kedua orangtua si kembar.

Aku nikmati semua hal yang dilakukan oleh keluarga itu di meja makan. Aku benamkan segenap pikiranku menjadi bagian dari mereka. Bukankah selama ini juga aku tidak pernah menikmati kehidupan seperti ini. Aku anak tunggal Ibu dan Ayah, dan menjadi anak yatim saat berusia lima tahun setelah Papa meninggal dan Ibu memutuskan tidak mau menikah lagi.

Nanti sore aku sudah kembali ke Heidelberg untuk melanjutkan magang di sana. Selasa pagi akan kembali ke Stuttgart dalam rangka melanjutkan magang pembelajaran proyek manajemen lingkungan sebagai bagian dari kerjasama program kredit rehabilitasi lingkungan Bank Pembangunan Asia dengan Pemerintah Jerman yang disalurkan melalui Deutsche Bank untuk negara- negara Asia Pacific. Di mana Bank tempatku bekerja menjadi salah satu bagian dari proyek kerjasama internasional itu.

"Gustav, bagaimana jika bawa saja mobil ke Heidelberg nanti sore? Bukankah besok sore kegiatan di Heidelberg juga sudah selesai dan berlanjut di Stuttgart?", kudengar Papa berkata kepada Gustav terkait dengan perjalanan kami kembali ke Heidelberg nanti sore.

"Kami diantar saja sama driver ke Heidelberg Pa. Tidak mungkin, Gustav memisahkan diri dan meninggalkan peserta lain saat mereka melanjutkan program magang di Stuttgart," jelas Gustav kepada Papa.

"Ya sudah, nanti pas magang di Stuttgart, Morgan menginap di sini saja. Kita maksimalkan waktu kebersamaan kita selama Morgan ada di Stuttgart. Nanti pas Morgan sudah meninggalkan Jerman kembali ke Indonesia, kita belum tahu kapan lagi akan bisa bersama," aku memandang penuh takjud Papa yang begitu berwibawa di mata keluarganya  dan terasa sangat menyayangi serta memperhatikan keluarganya. Aku benar-benar merasakan pengalaman hidup berkeluarga yang berbeda dari yang kualami selama ini.

Aku juga kagum kepada Gustav dan Vera, meskipun mereka dari keluarga berada, tetapi sikap mereka tidak melihatkan hal tersebut. Vera sebagai seorang mahasiswi kedokteran di Heidelberg, tinggal di dorm kampusnya, dan kemana-mana menggunakan kendaraan umum dan juga bersepeda untuk ke kampus dari dorm tempat tinggalnya. Demikian pula, Gustav, santai saja jalan kaki dari apartment ke kantornya.

Sikap Gustav dan Vera tersebut sebagai anak dari keluarga berada, sangat sulit ditemukan di Indonesia tanah airku. Sulit menemukan keluarga berada mau menggunakan kendaraan umum, bersepeda, apalagi berjalan kaki untuk ke kampus atau ke kantor. Apalagi bagi seorang seperti Gustav, selain anak orang berada juga seorang manajer muda sebuah Bank yang terkenal di seluruh dunia. 

Memang fasilitas angkutan umum di perkotaan Indonesia pada era 90'an masih memprihatinkan. Demikian pula bersepeda dan berjalan kaki sangat tidak nyaman di jalanan ibukota negara tercinta. Namun di luar masalah fasilitas umum tersebut, sikap manja dan perasaan gengsi yang besar menyebabkan apa yang dilakukan Gustav dan Vera di Jerman sulit untuk ditemukan di tengah keluarga berada Indonesia.

Jam enam sore, aku bersama Gustav dan Vera kembali ke Heidelberg di antar oleh driver keluarga mereka. Mama memelukku erat sebelum kami masuk ke dalam mobil, "Mama belum puas dengan waktu kebersamaan kita di akhir pekan ini. Terimakasih kamu telah berlaku sebagai anak Mama dan dekat dengan Mama selama di sini," logikaku yang menolak mereka adalah keluargaku mulai terkalahkan oleh bisikan batinku untuk menerima mereka sebagai keluargaku, apalagi setelah mendengar kata-kata Mama melepaskan kepergianku sore ini kembali ke Heidelberg.

Sesampai di Heidelberg, Vera diantar terlebih dahulu ke dorm tempatnya tinggal selama kuliah di Fakutas Kedokteran Heidelberg. Aku dan Morgan ikut turun dari mobil mengantar Vera hinga lobby dorm. Vera memeluk dan mencium pipiku dan Gustav secara bergantian. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Hotel tempat kami peserta program menginap.

Sesampai dihotel, aku langsung menuju kamar dan Gustav tidak langsung ke kamarnya, tetapi mengikutiku ke kamarku. "Aku di kamarmu sampai mengantuk," katanya.

Setelah di kamar, aku pun bersih-bersih dan berwudhu di kamar mandi, lalu shalat isya dijamak dengan maghrib. Sebelum shalat aku lihat Gustav melepon peserta lain ke kamar mereka memberitahukan besok berangkat bersama ke lokasi magang di Kantor Lingkungan Kota dengan kendaraan Deutsche Bank.

Selesai aku shalat, dzikir dan berdoa, Gustav berkata, "setiap aku melihat Morgan sembahyang dan berdoa, entah mengapa hatiku ikut damai dan tentram."

"Ya, kedekatan kita dengan Tuhan akan membuat hidup kita berasa damai dan ikhlas menjalankan kehidupan ini," terangku kepada Gustav.

"Tetapi, tidak semua orang mengalami pengalaman spiritual sepertimu Morgan. Kehadiran Tuhan tidak selalu ditemui di hati setiap orang," kata Gustav kepadaku.

"Kita yang harus aktif mencari keberadaan Tuhan. Tuhan akan dekat jika kita mendekat kepadaNya dan Tuhan akan jauh jika kita menjauh dariNya," aku mencoba menerangkan keyakinanku terhadap Tuhan kepada Gustav.

"Tidak begitu Morgan, tidak setiap hati didatangi oleh Tuhan. Tuhan hanya memilih orang-orang tertentu untuk dekat denganNya. Dan kedekatan itu tidak bisa dipaksakan oleh para Imam yang merasa mereka memegang doktrin agama untuk disampaikan kepada jemaahnya," Gustav menyampaikan argument keyakinannya kepadaku.

"Aku merasa dekat dengan Tuhan, karena sejak kecil Ibu membimbingku untuk dekat dengan  Tuhan. Ibu mendatangkan guru agama untuk aku memahami ajaran agama yang kami yakini. Akan tetapi aku sekolah di Perguruan yang dimiliki oleh Yayasan yang berbeda dengan keyakinan agama kami, karena menurut Ibu, saat itu Sekolah Katolik secara mutu pendidikan dan kedisiplinan lebih unggul dari sekolah umum," terangku kepada Gustav menanggapi argumennya.

"Itu membuktikan bahwa Tuhan hanya memilih orang-orang tertentu untuk dekat denganNya. Morgan mendapatkan dua doktrin agama yang berbeda, tetapi Morgan menjalankan kehidupan spiritual berdasarkan keyakinan kepada satu agama bukan kepada kedua agama yang doktrinnya mempengaruhi hari-hari Morgan," balas Gustav lagi.

Aku tidak melanjutkan argumenku kepada Gustav. Menurut keyakinanku, masalah kedekatan kita dengan Tuhan dan agama yang kita anut merupakan pengalaman spiritual masing-masing individu, bukan karena doktrin yang disampaikan orang lain untuk mempengaruhi kita mempercayai dan meyakini suatu agama.

Lantas, aku pun berpikir, jangan-jangan pikiranku juga pikiran seorang agnostik seperti Gustav. Mungkin yang membedakannya, Gustav tidak tersentuh oleh agama yang dikenalkan Mamanya, sementara aku begitu tersentuh dengan keyakinan agama yang menyertai kehidupanku bersama Ibu sejak aku mengenal arti kehidupan dunia. Aku dari kecil di sekolah  belajar agama yang berbeda dengan agama yang aku yakini dan aku jalankan ibadahnya di rumah.  

Saat mahasiswa, aku juga mengambil mata kuliah fenomenologi agama dan ilmu budaya, serta ilmu alamiah dasar yang diajarkan oleh beberapa Pastor. Namun semua itu, tidak memengaruhi keyakinan agama yang aku peluk hingga saat ini. Dan hingga saat ini pun, aku tidak pernah mempermasalahkan keyakinan dan agama orang lain. Keyakinan dan agama tidak menjadi pembatas dalam pergaulan hidupku.

Sampai saat ini, aku masih suka membaca kitab suci dari berbagai agama. Hal itu malah memperdalam keyakinanku kepada Tuhan yang mengatur segala kehidupan di alam semesta ini, sehingga memperkuat imanku kepada agama yang kuanut saat ini.

Jarum jam sudah mendekati angka 12, malam sudah larut. Gustav pun pamit ke kamarnya, dan menyampaikan besok sebelum sarapan ke bawah, singgahi dia dulu di kamarnya.

Bersambung...   

   

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun