Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-14)

6 Desember 2022   06:43 Diperbarui: 6 Desember 2022   07:01 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oke, aku mandi dulu, sebentar lagi waktu makan siang tiba," Gustav membuyarkan lamunan dan aku pun terus melangkah ke arah kamarku. Sambil beberes di kamar, keinginanku untuk menelepon kembali Tante Nuniek untuk menanyakan tentang Ayah kembali muncul. Waktu yang tepat adalah siang ini agar di Jakarta Tante Nuniek menerima telepon tidak kemalaman. 

Aku berbegas mandi dan membereskan pakaian yang akan kubawa kembali ke Heidelberg nanti sore. Aku pun keluar kamar, aku ketuk pintu kamar Gustav mau izin menggunakan telepon. Tapi Gustav tidak menjawab, mungkin masih mandi. Aku pun turun ke bawah, berharap ada seseorang yang bisa kumintai izin untuk memakai telepon. Ketika sampai di bawah, ternyata Papa baru pulang dari bermain golf.

Papa menegurku dan mengatakan dia akan ke kamar dulu sebelum waktu makan siang sebentar lagi. Lalu aku pun minta izin ke Papa mau menelepon ke Jakarta. "Morgan, gunakan saja, tidak perlu izin segala. Kamu kan anak Papa juga, jadi santai saja, gunakan saja apa yang ada di rumah ini jika Morgan butuh," aku tercekat mendengar kata Papa. 

Aku masih merasa aku bukan keluarga mereka. Ibuku di Jakarta, Ayahku berbeda dengan yang mereka sampaikan, dan tahun kelahiranku dengan Gustav juga berbeda. Aku harus buktikan dulu semua yang yang ada di balik itu. Aku sangat menghargai kebaikan dan perhatian mereka, tetapi aku belum bisa menerima bahwa aku adalah bagian dari keluarga mereka.

Lalu, aku pun menelepon Tante Nuniek. "Wah, Morgan anak bule tampan Bulik. Ada apa sayang menelepon lagi? Ngak mahal telepon dari Jerman?" terdengar suara Tante Nuniek di ujung gagang telepon.

"Ada lagi yang mau Morgan tanyakan Tante, mumpung Morgan masih di Jerman," kataku.

"Tentang Ayahmu lagi?" tanya Tante Nuniek dengan nada yang agak berbeda dibandingkan tadi.

"Tante, apakah Ayah pernah bercerita tentang keluarganya di Jerman? Kan mumpung di Jerman, Morgan bisa bersilaturahim dengan keluarga Ayah," jelasku kepada Tante Nuniek.

"Tante Nuniek tidak banyak tahu tentang keluarga Ayahmu. Hanya Ayahmu pernah bercerita bahwa dia anak yatim piatu yang dibesarkan oleh panti asuhan dan kemudian mendapatkan beasiswa penuh oleh pemerintah Jerman," terang Tante Nuniek.

"Berarti, Ayah adalah asli orang Jerman dan warganegara Jerman? Berarti sebelum menjadi warganegara Indonesia, Ayah berkewarganegaraan Jerman?." Aku berusaha mengorek keterangan dari Tante Nuniek.

"Tante kurang begitu paham Morgan," suara Tante Nuniek seakan tersekat. Kemudian dia melanjutkan "Ada apa Morgan? Ada sesuatu selama di Jerman?"

"Tidak ada apa-apa Tante, hanya mumpung di Jerman, dan Morgan ingat kata Tante kemarin bahwa Ayah memang keturunan Jerman. Mumpung di sini mungkin bisa bertemu dengan keluarga Ayah," terangku kepada Tante Nuniek.

"Tapi, kalo sampai ketemu keluarga Ayah, Morgan jangan ngak mau pulang ya. Kasihan Ibu sendiri di sini kalo Morgan jadi betah di Jerman. Ibumu sayang sekali dengan Morgan. Banyak pria melamar Ibu setelah Ayah meninggal, tapi dia tidak mau menikah lagi karena katanya dia tidak mau Morgan sampai harus kekurangan kasih sayangnya. Katanya belum tentu suami barunya nanti akan sayang kepada Morgan seperti Ayah yang sesungguhnya. Dan Ibu ingin menghabiskan sisa hidupnya kelak hanya bersamamu," panjang lebar Tante Nuniek memberikan penjelasan tentang sayangnya Ibu padaku.

"Tante, ngak mungkinlah Morgan akan meninggalkan Ibu sampai kapan pun. Morgan juga sangat sayang sama Ibu. Tanpa kasih sayang Ibu, ngak mungkin Morgan akan seperti sekarang. Ibu mau mengorbankan kebahagiaannya untuk berumahtangga lagi hanya karena tidak mau kasih sayang untuk Morgan berbagi," jelasku kepada Tante Nuniek.

"Jika pun Morgan sampai bertemu dengan keluarga Ayah di sini, itu hanya untuk menyambung silahturahim. Tapi, Tante jangan cerita sama Ibu ya tentang telepon kita hari ini dan kemarin. Morgan ngak mau Ibu sedih ingat almarhum Ayah," kataku sebelum mengakhiri pembicaran telepon bersama Tante Nuniek.

"Baiklah Morgan. Jaga Kesehatan di sana ya anak tampan Bulik. Bulik sama Ibu sangat sayang sama kamu," ucap Tante Nuniek mengakhiri kata-katanya sebelum meletakkan gagang telepon.

Pikiranku kembali menerawang, artinya Ayah memanglah bukan orang Indonesia. Apa yang menyebabkan Ayah menjadi seorang WNI? Satu misteri terungkap, bahwa Ayahku benar orang Jerman. Dan, seperti kata Tante Nuniek, Ayah seorang yatim piatu sejak kecil dan diasuh oleh panti asuhan yang sekolahnya dibiayai oleh negara Jerman sampai menjadi dokter.

Dari cerita Mama Gustav, Ayah Gustav seorang anak yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal di pengungsian ketika semua warga Jerman diusir dari provinsi Neumark di wilayah Timur Jerman setelah wilayah itu dikuasai oleh Soviet dan Polandia. Lalu, ketika Berlin lululantak oleh serangan sekutu, Ayah Gustav dibawa ke Hedeilberg dan masuk sekolah menengah hingga Fakultas Kedokteran yang dibaiayai sepenuhnya oleh Pemerintah.

Batinku pun bertanya, apakah Ayah Gustav dan Ayahku sama? Jika sama, apakah benar kami kembar? Tapi, dari dokumen kelahiranku, aku lahir bukan di Heidelberg dan berbeda satu tahun lebih muda dari Gustav. Namun menurut Tante Nuniek, ketika Ibu pulang ke Indonesia sudah membawaku bersama Ayahku, suaminya.

Mungkinkah setelah bercerai dengan Mama, ayah Gustav kemudian menikah dengan ibuku, dan kemudian lahirlah aku. Tapi, jika benar demikian, kemana bayi kembar yang lahir bersama Gustav dan dibawah Ayahnya ketika bercerai dengan Mama?

Oh, sebuah teka-teki, yang jawaban ada pada Ibu. Akan tetapi, sungguh aku tidak tega untuk menanyakannya, aku tidak mau mendengar Ibu menangis lagi di telepon. Biarlah aku simpan dulu misteri ini sampai bertemu Ibu di Jakarta.

Namun, jika Ibu nanti tidak mau mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak akan memaksanya. Apa pun yang terjadi, aku tetap akan menganggap Ibu adalah Ibu kandungku. Ibu telah banyak berkorban untukku, dia telah mempertaruhkan kebahagiaan hidupnya hanya karena kasih sayang dan cintanya kepadaku.

Jika aku memang bukan anak kandung Ibu, sebenarnya tidak ada kewajiban lagi bagi Ibu untuk mengasuhku hingga membuat dia tidak menikah lagi begitu Ayah sudah meninggal. Aku jadi anaknya semata-mata karena Ayahku menikah dengannya. Mana mungkin, aku akan menyia-nyiakannya hanya karena ternyata Ibu bukan orangtua biologisku.

Sementara, seandainya benar aku terlahir dari rahim Mama, aku akan menghargainya sebagai Ibu biologisku. Walau, dia sempat membiarkanku tanpa kabar dimana keberadaanku semasa bayi dan anak-anak.

Aku akan bersikap sebagai saudara angkat mereka, untuk membagi kebahagian hidup bersama mereka yang telah kehilangan anak bagi Mama dan kehilangan saudara kembar bagi Gustav. Papa sebagai Ayah sambung Gustav, dalam dua hari ini juga menunjukkan kasih sayangnya kepadaku layaknya benar aku adalah saudara kembar Gustav. Vera sebagai adik tiri Gustav juga terlihat bahagia dekat denganku.

Ya, apa salahnya membahagiakan orang sebagaimana yang diajarkan agama yang aku yakini saat ini, dan agama lain yang pernah kupelajari dari kecil.  Demikian pula Ibu mengajarkannya sejak aku kecil. Kini aku sudah dewasa, bahkan sudah menjadi manajer muda sebuah bank nasional di Indonesia. Aku bertemu Gustav dan kemudian dipertemukan Allah dengan keluarganya di Jerman juga karena terkait dengan tugasku sebagai manajer muda bank milik negeri Indonesia tanah airku.

Kini, untuk semua jalan hidupku, aku lah yang akan menentukan. Apa pun yang terjadi, hidup akan terus berjalan. Masa depanku masih panjang, tapi tentu saja aku tidak bisa egois menentukan jalan hidupku selanjutnya.

Bersambung...

Nantikan kisah Morgan di Jerman sebelum bertemu kembali ibunya di Jakarta dalam episode selanjutnya...!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun