"Tante kurang begitu paham Morgan," suara Tante Nuniek seakan tersekat. Kemudian dia melanjutkan "Ada apa Morgan? Ada sesuatu selama di Jerman?"
"Tidak ada apa-apa Tante, hanya mumpung di Jerman, dan Morgan ingat kata Tante kemarin bahwa Ayah memang keturunan Jerman. Mumpung di sini mungkin bisa bertemu dengan keluarga Ayah," terangku kepada Tante Nuniek.
"Tapi, kalo sampai ketemu keluarga Ayah, Morgan jangan ngak mau pulang ya. Kasihan Ibu sendiri di sini kalo Morgan jadi betah di Jerman. Ibumu sayang sekali dengan Morgan. Banyak pria melamar Ibu setelah Ayah meninggal, tapi dia tidak mau menikah lagi karena katanya dia tidak mau Morgan sampai harus kekurangan kasih sayangnya. Katanya belum tentu suami barunya nanti akan sayang kepada Morgan seperti Ayah yang sesungguhnya. Dan Ibu ingin menghabiskan sisa hidupnya kelak hanya bersamamu," panjang lebar Tante Nuniek memberikan penjelasan tentang sayangnya Ibu padaku.
"Tante, ngak mungkinlah Morgan akan meninggalkan Ibu sampai kapan pun. Morgan juga sangat sayang sama Ibu. Tanpa kasih sayang Ibu, ngak mungkin Morgan akan seperti sekarang. Ibu mau mengorbankan kebahagiaannya untuk berumahtangga lagi hanya karena tidak mau kasih sayang untuk Morgan berbagi," jelasku kepada Tante Nuniek.
"Jika pun Morgan sampai bertemu dengan keluarga Ayah di sini, itu hanya untuk menyambung silahturahim. Tapi, Tante jangan cerita sama Ibu ya tentang telepon kita hari ini dan kemarin. Morgan ngak mau Ibu sedih ingat almarhum Ayah," kataku sebelum mengakhiri pembicaran telepon bersama Tante Nuniek.
"Baiklah Morgan. Jaga Kesehatan di sana ya anak tampan Bulik. Bulik sama Ibu sangat sayang sama kamu," ucap Tante Nuniek mengakhiri kata-katanya sebelum meletakkan gagang telepon.
Pikiranku kembali menerawang, artinya Ayah memanglah bukan orang Indonesia. Apa yang menyebabkan Ayah menjadi seorang WNI? Satu misteri terungkap, bahwa Ayahku benar orang Jerman. Dan, seperti kata Tante Nuniek, Ayah seorang yatim piatu sejak kecil dan diasuh oleh panti asuhan yang sekolahnya dibiayai oleh negara Jerman sampai menjadi dokter.
Dari cerita Mama Gustav, Ayah Gustav seorang anak yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal di pengungsian ketika semua warga Jerman diusir dari provinsi Neumark di wilayah Timur Jerman setelah wilayah itu dikuasai oleh Soviet dan Polandia. Lalu, ketika Berlin lululantak oleh serangan sekutu, Ayah Gustav dibawa ke Hedeilberg dan masuk sekolah menengah hingga Fakultas Kedokteran yang dibaiayai sepenuhnya oleh Pemerintah.
Batinku pun bertanya, apakah Ayah Gustav dan Ayahku sama? Jika sama, apakah benar kami kembar? Tapi, dari dokumen kelahiranku, aku lahir bukan di Heidelberg dan berbeda satu tahun lebih muda dari Gustav. Namun menurut Tante Nuniek, ketika Ibu pulang ke Indonesia sudah membawaku bersama Ayahku, suaminya.
Mungkinkah setelah bercerai dengan Mama, ayah Gustav kemudian menikah dengan ibuku, dan kemudian lahirlah aku. Tapi, jika benar demikian, kemana bayi kembar yang lahir bersama Gustav dan dibawah Ayahnya ketika bercerai dengan Mama?
Oh, sebuah teka-teki, yang jawaban ada pada Ibu. Akan tetapi, sungguh aku tidak tega untuk menanyakannya, aku tidak mau mendengar Ibu menangis lagi di telepon. Biarlah aku simpan dulu misteri ini sampai bertemu Ibu di Jakarta.