"Anostik berbeda dengan Atheis," jawab Gustav. Lalu dia menerangkan bahwa Atheis adalah seseorang yang memilikik kepercayaan bahwa tidak ada Tuhan. Sementara seorang Agnostik percaya adanya Tuhan tetapi tidak meyakini suatu doktrin agama. Seorang Agnostik tidak mengetahui bagaimana alam semesta ini sebenarnya diciptakan dan apakah makhluk ilahi itu benar-benar ada atau tidak. Semuanya tergantung kepada pengalaman batinnya masing-masing.
Aku terbengong dengan penuturan Gustav, dan masih penasaran sehingga aku pun bertanya, "tapi aku pernah dengar, saat kita di Singapore ketika kami diputuskan untuk lanjut ke Jerman, Gustav mengucapkan 'Puji Tuhan, Dia telah mengabulkan doaku membawa Morgan ke Jerman menemui ibu.'"
"Ya, sejak aku melihat Morgan rajin beribadah, aku merasakan bahwa Saudaraku adalah sedikit orang yang terjamah oleh tangan Tuhan. Dan tidak semua orang bisa seperti itu," jelas Morgan.
"Mungkin Morgan, belum meresapi keyakinan terhadap adanya Tuhan dalam kehidupan kita?" tanyaku.
"Aku belum menemukannya seperti kamu Morgan saudaraku," jawabnya setengah berbisik. "Aku melihatmu benar-benar larut setiap berdoa, Morgan." lanjutnya.
"Dari kecil aku diajak Mama setiap Minggu ke rumah ibadah, tapi aku hanya merasakan sekelompok orang yang terlihat hanya menjaga image di sana, sehingga ketika aku sudah berumur 16 tahun aku putuskan aku tidak mau lagi pergi bersama Mama setiap Minggu, karena tidak ada yang kudapatkan dalam batinku setiap ke sana. Sampai sekarang Alfred juga selalu berkotbah padaku untuk pergi ke rumah ibadah. Alfred memang seorang fanatik. Jarang anak muda Jerman saat ini yang seperti Alfred. Vera pun mengikuti jejakku ketika dia sudah bisa memutuskan keinginannya sendiri," kali ini kudengar Gustav berbicara panjang lebar tentang keyakinannya.
Ya, aku terpana dengan apa yang diucapkan Gustav. Di Indonesia pun banyak anak-anak muda yang tidak menjalankan ibadah seperti yang diajarkan agamanya masing-masing, tetapi aku belum pernah mendengarkan mereka berkata tidak yakin dengan doktrin agamanya. Mereka tetap mengakui agamanya masing-masing sesuai dengan KTP mereka.
Cerita Gustav menambah wawasanku tentang keluarga ini. Mereka saling menyayangi, tetapi soal kehidupan adalah privasi mereka masing-masing. Sangat berbeda dengan di Indonesia tanah airku, keyakinan seseorang terhadap agamanya sangat dipengaruhi oleh keluarganya.
Seperti aku, walaupun sekolah di Perguruan Katolik dari kecil hingga tamat kuliah, dan mengambil mata kuliah pilihan fenomenologi agama saat kuliah di Universitas Katolik Parahyangan yang diajarkan oleh Pastor Frans H.C.M. Vermeulen dan Mgr. Geise. Selain itu akua juga mendapatkan Ilmu Budaya Dasar yang diajarkan oleh Pastor M.A.W. Brouwer yang terkenal sebagai Kolumnis Kompas, tetap saja keyakinanku sama dengan orangtuaku.
Ibu yang kukenal sejak kecil adalah seorang Muslimah yang taat, namun Ibu menyekolahkanku di perguruan Katolik dengan alasan disiplin pendidikan di lingkungan mereka sangat baik dan ketat. Dan sore hari, Ibu mengundang guru agama Islam untuk mengajarkanku sebagai seorang Muslim yang yakin kepada Allah. Ayahku, sepengetahuanku dan dari dokumen kematiannya juga merupakan seorang Muslim.
Aku menjadi semakin memahami warna kehidupan yang berbeda antara aku sebagai orang Indonesia dengan Gustav sebagai orang Jerman.