Makan siang hari ini suasananya sudah jauh berbeda dengan suasana makan malam sebelumnya. Jika makan malam kemarin penuh keheningan dengan membawa perasaan yang berkecamuk di hati masing-masing, maka makan siang ini sudah penuh suasana ceria yang di tingkahi gelak tawa dan suka cita penuh canda. Sering terdengar celutukan antara Papa dan Gustav yang diselingi rengekan manja Vera.
Mereka ternyata begitu kompak satu sama lain, dan terlihat saling sayang menyayangi. Pantas saja Papa jika ke Frankfurt lebih senang menginap di apartement Gustav daripada menginap di hotel yang disediakan perusahaan. Papa Gustav ternyata seorang yang penting dalam sebuah korporasi mobil buatan Jerman terkenal di dunia, dan saat ini Papa masih menjabat sebagai seorang direktur salah satu subsidiary korporasi tersebut.
Makan siang pun usai sudah, dan aku pamit untuk ke kamar. Aku mau shalat dzuhur dan menjamak azhar sebagaimana yang selalu aku lakukan jika aku sedang di luar kota. Papa bilang kepadaku jangan lupa nanti nonton TV bersamanya menyaksikan laga Stuttgart dengan FC Cologne di Bundesliga 1991. Kata Papa, sayangnya Stuttgart sedang bertandang ke kandang lawan di kota Koln. "Jika pertandingannya di sini pasti Papa akan ajak Morgan nonton di  Neckarstadion (sejak tahun 1993 berubah nama menjadi Gottlieb-Daimler-Stadion setelah direnovasi)," jelas Papa.
"Dan Morgan pasti duduk di VVIP karena Papa penguasa stadionnya... he...eh...hhe...." Gustav menyambar kata-kata Papa sambil tertawa.
"Baik Papa, Morgan akan temani Papa nonton pertandingan Stuttgart di Bundesliga nanti sore," sahutku.
Sejujurnya, aku terkesima dengan Papa, ayah sambung Gustav, yang begitu penuh perhatian kepada keluarga. Tidak terlihat jika Gustav adalah anak sambung dari istrinya yang Papa nikahi. Perhatiannya kepada Gustav tidak berbeda dengan perhatiannya kepada Vera anak kandungnya sendiri. Dan saat ini pun dia memberikan perhatian kepadaku seolah-olah aku memang saudara kembarnya Gustav.
Bagiku yang tidak merasakan kasih sayang seorang Ayah setelah aku berusia lima tahun, tentu perhatian Papa itu mejadi sesuatu bagiku. Jika aku sedang berkunjung ke rumah Pakde Tjokro pun, aku tidak pernah diperhatikan seperti perhatian Papa Gustav kepadaku. Hubungan persaudaraanku dan Ibu dengan keluarga Pakde Tjokro terlihat agak formal. Malah lebih cair hubunganku dengan Om Ninok, suami Tante Nuniek. Padahal Pakde Tjokro adalah kakak kandung Ibu, sementara Om Ninok hanyalah suami Tante Nuniek yang adalah saudara sepupu Ibu, bukan saudara kandung Ibu.
Sesampai di kamar, aku pun bebersih diri di kamar mandi dan mengambil wudhu untuk shalat. Selesai shalat, sedikit berdzikir dan ditutup dengan doa, aku pun rebahan sebentar. Awalnya aku mau tidur siang sekitar satu jam, tapi mataku tidak bisa terpejam. Lalu aku bangkit dan keluar kamar. Mumpung lagi pada istirahat aku mau keliling rumah keluarga Gustav, dan mau menikmati suasana taman yang sepertinya menarik untuk dinikmati.
Ketika aku turun ke bawah, ternyata ada Mama dan Gustav lagi duduk berdua di ruang keluarga. Aku pun mereka panggil untuk ikut duduk bersama mereka, dan akhirnya aku tidak jadi ke taman.
Mama memintaku duduk di sebelah kanannya dan Gustav berada di sebelah kiri Mama. Mama memegang ujung tanganku dan mengusap-usapnya dengan lembut. Aku pun jadi teringat Ibu di Jakarta. Jika sedang duduk-duduk berdua bersama Ibu, aku pun suka memijat-mijat tangan ibu, lalu berdiri memijat-mijat pundak Ibu, serta terakhir duduk di bawah memijat kaki ibu yang duduk di sofa.