Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ibu tentang keberadaanku dimana. Ibu sudah bertanya lagi, "Morgan, kamu sehat kan Nak? Dua malam ini, Ibu gelisah ingat kamu."
Wah, mendengar Ibu gelisah, hatiku sudah ciut untuk mau bertanya banyak kepada Ibu tentang masa lalunya di Jerman. Aku tidak tahan jika harus mendengar Ibu menangis lagi. Sebelum aku tugas ke Singapore dan di lanjutkan ke Jerman, belum pernah aku mendengar Ibu menangis seperti setiap aku telepon akhir-akhir ini setelah aku bertemu Gustav. Kata-kata, "Morgan anak Ibu. Ibu tidak mau kehilangan Morgan. Morgan adalah satu-satunya milik Ibu di dunia ini," selalu meluncur dari mulut Ibu setiap kami telpon-telponan.
"Morgan sekarang di Stuttgart ikut berakhir pekan di rumah Gustav. Sampai hari Senin masih magang di Heidelberg. Selasa baru tugas ke Stuttgart," terangku kepada Ibu.
"Bagaimana sambutan Ibu Gustav padamu Morgan?" Aku terdiam, mau bercerita, tetapi tidak tega nanti Ibu menangis lagi. Ah biarlah semuanya nanti akan kuselidiki setelah aku kembali ke Jakarta saja.
"Mama dan Papa Gustav sangat ramah. Mereka sekeluarga senang menyambut kehadiranku. Tadi pagi, Papa Gustav berenang bersamaku," aku berusaha untuk tidak menceritakan suasana haru yang sebenarnya terjadi tadi malam.
"Mamanya tidak menyinggung sama sekali tentang saudara kembar Gustav?" kejar Mama kepadaku. Lidahku keluh untuk bercerita yang sebenarnya. Jika aku ceritakan, pasti Ibu akan galau dan menangis lagi.
"Mama Gustav hanya takjub melihat aku yang benar-benar persis mirip dengan Gustav anaknya," aku berusaha tidak menceritakan kejadian sesungguhnya kepada Ibu.
"Morgan, pasti tidak menceritakan yang sesungguhnya. Dari bayi Ibu telah bersama Morgan, membesarkan Morgan bersama Ayah, dan dua puluh tahun lewat Mama hanya memiliki Morgan setelah Ayah meninggal, jadi Ibu tahu semua perasaanmu Nak. Biarkanlah mereka mengakui Morgan sebagai kembaran Gustav yang hilang. Tapi, yakinlah, Morgan memang benar-benar anak Ibu..." terdengar Ibu mulai menahan isaknya.
Aku tak pernah tahan jika sudah mendengar Ibu menangis. Ibulah yang membesarkanku, yang merawatku, yang memberikan kasih sayang penuh untukku. Apa pun yang terjadi, Ibu adalah tetap Ibuku yang tidak mungkin aku tinggalkan.
Namundi sisi lain aku juga penasaran, mungkinkah sebenarnya aku saudara kembar Gustav yang hilang setelah orangtua Gustav bercerai?
Aku tidak mau kembali kehilangan mood, dan tidak mau membuat Ibu menangis di Jakarta seorang diri memikirkanku, dan yang takut kehilanganku.
"Ibu, apa pun yang terjadi, Ibu adalah Ibu Morgan. Morgan tidak mungkin akan meninggalkan Ibu. Dari kecil hingga saat ini hanya Ibu yang Morgan rasakan sebagai Ibu Morgan. Ibu janganlah bersedih. Morgan akan tetap bersama Ibu," aku mencoba tegar dan menghibur Ibu sekaligus menghibur hatiku.
"Ibu, sore ini praktek di rumah?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Ya, seperti biasa Sabtu sore ada praktek di rumah," jawab Ibu. "Dan itu pasien sudah mulai berdatangan," Ibu melanjutkan kata-katanya.
"Baiklah Ibu, Morgan pamit dulu. Ibu jangan sedih lagi ya. Ibu adalah tumpuan kasih sayang Morgan. Morgan tidak mungkin akan meninggalkan Ibu. Morgan hanya ingin membuat mereka juga bahagia selama Morgan di sini seperti yang Ibu ajarkan agar kita selalu bisa membahagiakan orang lain," kataku mengakhiri pembicaraan telepon.
Setelah Ibu meletakkan gagang teleponnya, aku pun menutup telepon. Tiba-tiba aku ingat Tante Nuniek, Sepupu Ibu yang sangat dekat dengan ibu dan denganku. Ibu hanya berdua bersaudara bersama Om Tjokro, dan kedua orangtuanya sudah meninggal sebelum aku lahir, saat Ibu masih di kuliah kedokteran di Jerman.
Seperti kebanyakan saudara lelaki, mereka lebih sibuk dengan istri dan keluarganya daripada dengan saudara kandungnya sendiri. Demikian pula hubungan kami dengan Om Tjokro. Tante Nuniek adalah satu-satunya saudara sepupu perempuan Ibu, anak dari adik Eyang, sehingga hubungan mereka sangat dekat hingga hari ini.
Mengapa aku tidak coba menelepon Tante Nuniek, mumpung bisa menelepon dari sini. Tapi, aku juga harus tahu diri jangan mentang-mentang. Aku pun datang menghampiri Gustav minta izin untuk menelepon adik ibuku.
Papa yang mendengarkan aku minta izin, langsung berkata, "gunakan saja seperlu Morgan, mumpung sedang di rumah, nanti di Heidelberg harus ke operator hotel atau ke kantor telepon."
Aku pun langsung menelepon Tante Nuniek, "ini beneran Morgan? Apa kabar anak bule tampan Bulik? Kata Ibu dari Singapore langsung lanjut ke Jerman ya?" sahut Tante Nuniek begitu telepon tersambung.
"Iya Tante, Morgan kangen gudek masakan Tante, di Singapore dan di Jerman ngak ketemu yang jualan gudeg," kataku membuka pembicaraan.
Setelah berbicara ngalor ngidul,basa basi, akhirnya aku memberanikan diri bertanya, "Tante, ketika Morgan lahir, tante ikut nungguin Ibu ngak?"
"Ya, enggaklah kan Morgan lahir di Jerman. Ibu membawamu pulang setelah Morgan berusia sekitar dua tahun," hmm ini kuncinya pikirku.
"Jadi waktu Ibu menikah di Jerman, keluarga ngak ada yang tahu?", aku bertanya dan berusaha tenang.
"Ibu bersurat kepada Eyang Tono (ayahnya Tante Nuniek) menyatakan dia telah menemukan jodohnya di Jerman  dan merasa sudah saatnya harus menikah untuk menghindarkan fitnah sebagai seorang wanita dewasa yang seorang diri negeri orang," terang Tante Nuniek.
"Mengapa, tiba-tiba Morgan menanyakan ini? Apakah orang-orang di sana tidak percaya Morgan dari Indonesia karena mirip banget sama orang londo?", Tante Nuniek terlihat mulai penasaran.
"Iya Tante, mereka bilang, Morgan mirip seperti mereka, tidak kelihatan sama sekali kalau orang Asia," kataku.
"Iya, Ayah Morgan kan keturunan Jerman, dan wajah Morgan persis Ayah, tak menyisakan tempat sama sekali untuk wajah Ibu," sambut Tante Nuniek.
Ini satu lagi kunci yang kudapat dari Tante Nuniek. Aku merasa cukup dulu mengorek keterangan dari Tante Nuniek. Dua kunci ini sangat berharga bagiku untuk menelusuri siapa aku sesungguhnya.
Aku pun mengakhiri pembicaraan telepon dengan Tante Nuniek dan berpesan kepadanya untuk tidak bercerita pada Ibu mengenai pertanyaanku tentang kelahiranku dan perkawinan Ayah dengan Ibu dengan alasan nanti akan membuat Ibu sedih teringat almarhum Ayah.
Selesai menelpon, aku pun kembali bergabung dengan keluarga Gustav. Terlihat Papa dan Gustav sedang main catur ditemani Mama dan Vera di sebelah mereka. Lalu, Papa pun berseru, "biar Morgan gantikan Gustav, Papa mau juga coba lawan Morgan," dan Gustav pun berdiri mempersilahkan aku menggantikannya menghadapi Papa bermain catur.
Sambil main catur, pikiranku kembali menerawang. Berarti, Surat Tanda Kenal Lahir yang dibuat di Pengadilan Negeri itu tidak sepenuhnya benar. Sesuai keterangan Tante Nuniek tadi, ketika Ibu pulang ke Indonesia membawa aku yang masih bayi berusia dua tahunan. Lalu Ayahku memang keturunan Jerman. Aku mesti cari tahu mengapa di surat kematian Ayah disebutkan bekewarganegaraan Indonesia.
Tiba-tiba terdengar suara Papa, "skak match." Gustav, Vera, dan Mama tertawa melihat Papa kegirangan mengalahkanku. "Morgan mengalah sama Papa, untuk menghormati Papa..." canda Gustav. Padahal, sesungguhnya karena aku tidak terlalu kosentrasi dan melamun memikirkan kata-kata Tante Nuniek tadi.
"Saatnya kita makan siang, itu hidangan sudah tersedia di ruang makan," Mama mengajak kami semua ke ruang makan. Dan kami pun menuju ruang makan.Â
Aku jadi benar-benar merasakan seperti sedang dalam keluargaku sendiri lengkap dengan sepasang orangtua dan seorang abang dengan seorang adik. Selama ini, aku hidup  sebagai anak tunggal yang ditinggalkan ayah ketika berusia lima tahun, selanjutnya hidup hanya berdua dengan ibuku.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H