Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-11)

2 Desember 2022   06:50 Diperbarui: 2 Desember 2022   06:55 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak mau kembali kehilangan mood, dan tidak mau membuat Ibu menangis di Jakarta seorang diri memikirkanku, dan yang takut kehilanganku.

"Ibu, apa pun yang terjadi, Ibu adalah Ibu Morgan. Morgan tidak mungkin akan meninggalkan Ibu. Dari kecil hingga saat ini hanya Ibu yang Morgan rasakan sebagai Ibu Morgan. Ibu janganlah bersedih. Morgan akan tetap bersama Ibu," aku mencoba tegar dan menghibur Ibu sekaligus menghibur hatiku.

"Ibu, sore ini praktek di rumah?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ya, seperti biasa Sabtu sore ada praktek di rumah," jawab Ibu. "Dan itu pasien sudah mulai berdatangan," Ibu melanjutkan kata-katanya.

"Baiklah Ibu, Morgan pamit dulu. Ibu jangan sedih lagi ya. Ibu adalah tumpuan kasih sayang Morgan. Morgan tidak mungkin akan meninggalkan Ibu. Morgan hanya ingin membuat mereka juga bahagia selama Morgan di sini seperti yang Ibu ajarkan agar kita selalu bisa membahagiakan orang lain," kataku mengakhiri pembicaraan telepon.

Setelah Ibu meletakkan gagang teleponnya, aku pun menutup telepon. Tiba-tiba aku ingat Tante Nuniek, Sepupu Ibu yang sangat dekat dengan ibu dan denganku. Ibu hanya berdua bersaudara bersama Om Tjokro, dan kedua orangtuanya sudah meninggal sebelum aku lahir, saat Ibu masih di kuliah kedokteran di Jerman.

Seperti kebanyakan saudara lelaki, mereka lebih sibuk dengan istri dan keluarganya daripada dengan saudara kandungnya sendiri. Demikian pula hubungan kami dengan Om Tjokro. Tante Nuniek adalah satu-satunya saudara sepupu perempuan Ibu, anak dari adik Eyang, sehingga hubungan mereka sangat dekat hingga hari ini.

Mengapa aku tidak coba menelepon Tante Nuniek, mumpung bisa menelepon dari sini. Tapi, aku juga harus tahu diri jangan mentang-mentang. Aku pun datang menghampiri Gustav minta izin untuk menelepon adik ibuku.

Papa yang mendengarkan aku minta izin, langsung berkata, "gunakan saja seperlu Morgan, mumpung sedang di rumah, nanti di Heidelberg harus ke operator hotel atau ke kantor telepon."

Aku pun langsung menelepon Tante Nuniek, "ini beneran Morgan? Apa kabar anak bule tampan Bulik? Kata Ibu dari Singapore langsung lanjut ke Jerman ya?" sahut Tante Nuniek begitu telepon tersambung.

"Iya Tante, Morgan kangen gudek masakan Tante, di Singapore dan di Jerman ngak ketemu yang jualan gudeg," kataku membuka pembicaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun