Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-10)

1 Desember 2022   06:55 Diperbarui: 1 Desember 2022   06:57 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-10) - Dokpri

Di meja makan, kami banyak diam, terbawa oleh pikiran masing-masing yang berkecelaruh. Makanan mewah yang terhidang tidak banyak disentuh. "Bruder Morgan, coba cicipi Fruchtsalat buatan Mama, Bruder pasti suka," Vera menyorongkan sesendok besar salad ke piringku. Suara Vera memecah keheningan di meja makan.

Aku mencoba melawan perasaanku. Rasanya, tidak dewasa jika aku terlalu terbawa perasaan. Aku berharap besok pagi sikapku akan kembali ceria seperti biasa walau masih banyak teka teki misteri terntang kehidupanku sebenarnya. Vera mencoba dengan berbagai pancingan perkataan, tapi aku, Gustav, dan Mama hanya merespon sepata-pata kata saja.

Setelah masing-masing kami menyelesaikan makan ala kadarnya saja, padahal makanan yang dihidangkan sangat banyak, Haushaltsdiener mengangkat piring-piring yang telah kami gunakan, dan menyiapkan desert di hadapan kami masing-masing. Papa Morgan berseru, "tuangkan anggur ke weinglas Morgan, kita bersulang untuk menyambut kebersamaan kita malam ini."

Tiba-tiba tangan Gustav menghalangi tangan pelayan, "Morgan seorang Muslim yang taat, dia tidak meminum alcohol,".  Aku kaget, ternyata memang perhatian Gustav sangat besar padaku, dan terlihat dia selalu ingin melindungi aku sebagaimana seorang abang melindungi adiknya.

Aku pun tidak mau mengecewakan mereka, lalu aku angkat gelas minum yang berisi air putih untuk bersulang. Terlihat, wajah-wajah itu mulai tersenyum. Lantas Papa berkata, "mari kita istirahat dulu, mudah-mudahan besok pagi kita akan bangun dan segar, dan kita rayakan kebersamaan ini selama anak-anak berakhir pekan di sini."

Kami pun bubar dari ruang makan, Papa dan Mama beranjak ke kamarnya. Vera dan Gustav mengantarkanku ke kamar yang telah disediakan untukku. Mereka menunjukkan apa-apa saja di kamar itu dan segala perlengkapan yang telah tersedia untukku. Rasanya aku seperti masuk kamar boutique hotel berbintang lima.

Kamar Papa dan Mama ada di bawah, sementara kamar kami ada di lantai atas. Rumah mereka besar seperti rumah Om Tjokro di Menteng, kangmas dari Ibu yang merupakan pengusaha besar di Jakarta.

Kemudian Vera dan Gustav undur diri, memberiku kesempatan untuk istirahat sepenuhnya. Vera pun mencium pipiku seraya berucap Gute Nacht, dan Gustav memelukku erat sambil mengelus rambutku.

Weker kecilku yang selalu kubawa kemana-mana pun ku keluarkan dari tas dan kusetel di angka 5, lalu kutaruh di atas nakas di sebelah ranjang tempat tidurku.

Aku mengambil wudhu dan membaca dzikir sebelum tidur, berharap tidurku tenang malam ini, melupakan segala hal yang membuatku gunda dan mengharu biru seharian ini mulai dari pagi di Heidelberg, selama magang seharian di IFEU, dalam perjalanan ke Stuttgart, hingga di rumah keluarga Gustav malam ini.

Tak terasa aku terlelap sudah, dan terbangun oleh dering weker pas jam lima pagi. Aku pun turun dari ranjang, membersihkan diri di kamar mandi, dan bersiap shalat subuh. Dalam doa sehabis shalat aku mohonkan kepada Allah untuk senantiasa menjaga diriku dengan kasih sayangNya. Dan, aku mohonkan apa pun yang terjadi pada diriku, itulah yang terbaik dari Allah untuk kehidupanku hingga hari akhir.

Selesai shalat dan berdoa, aku keluar kamar, tetapi belum terlihat aktivitas di sana. Dan aku kembali melangkah ke kamar. Tetapi, sebelum aku melangkah ke kamar terdengar suara wanita memanggilku, "Morgan, komm runter, komm mit Mom her."

Aku merasa suara itu mirip suara Ibu jika memanggilku turun ke bawah untuk duduk bersamanya. Aku pun turun, dan duduk di atas sofa di sampingnya. Wanita itu memegang tanganku, dan mengelus lembut ujung jariku, kemudian tangannya meraba pipiku. Terlihat kerinduan yang dalam di wajahnya, dan aku pun membiarkan diriku dijamah olehnya.

Batinku berkata, biarlah aku membahagiakannya, agar dia merasa bertemu anak kandungnya yang hilang selama ini akibat keegoisannya di masa muda membiarkan satu anak kembarnya dibawa mantan suaminya karena keinginannya untuk menuruti nafsu mudanya ketika itu. Semoga Ibuku di Jakarta bisa menerima semua ini. Rasa ketakutan Ibu akan kehilanganku, tak akan terjadi.

Walaupun, seandainya, ternyata aku memang bukan anak Ibuku, tetapi dialah yang mengasuhku dari kecil, bahkan dia tidak mau menikah lagi setelah Ayah meninggal karena takut setelah menikah kasih sayangnya kepadaku harus berbagi. Oh, betapa mulianya hati ibuku...

Wanita itu terus membelaiku, seakan aku anak kecil yang ingin dia manja-manjakan di pagi ini. Aku dengarkan semua apa yang dia sampaikan, walau aku tidak begitu mengerti Bahasa Jerman. Ibu tidak pernah mengajarkan Bahasa Jerman, tetapi seringkali beberapa kosa kata Jerman terlontar dari mulut Ibu. Maklumlah Ibu delapan tahun tinggal di Jerman. Ibu sama sekali tidak mengajarkaku Bahasa Jerman, malah Ibu mengajarkan bahsa Inggris kepadaku.

Tiba-tiba tak kusadari Gustav telah ada di depan kami, "cie, manja-manja sama Mama nih, godanya dalam Bahasa Jerman. Kemudian Gustav duduk di sebelah kiri Mama, dan tangannya memeluk Mama, sementara tangan Mama memelukku.

Tak lama kemudian Papa dan Vera bergabung. Aku pun merasa seperti sedang berada dalam sebuah keluarga harmonis yang menyayangiku dan saling menyayangi satu dengan lainnya. Rasa penasaran yang menyergapku tadi malam, seakan lenyap sementara ini.

Mereka berbicara Bahasa Jerman seolah aku bisa berbahasa Jerman. Namun sesekali, Gustav dan Vera, juga Papa menyelingi dengan Bahasa Inggris jika terlihat aku agak bengong.

Papa pun bertanya kepada Gustav, "hari ini, Gustav mau bawa Morgan jalan kemana?" Tapi sebelum Gustav menjawab, Mama sudah menyatakan hari ini kita bersama-sama di rumah saja menikmati kebersamaan yang tiba-tiba muncul bersama keajaiban.

Rupanya, Mama sudah menyiapkan segala sesuatu mulai dari sarapan hingga diner di rumah malam ini. Papa mengajak aku dan Gustav berenang dulu sebelum sarapan di halaman samping, sambil Mama dan Vera mempersiapkan hidangan untuk sarapan.

Di sela-sela kami berenang Gustav mengingatkanku, "Morgan belum telepon Ibu, memberitahu sudah di Stuttgart kan?" aku terkesima dengan perhatian Gustav yang sedemikan detil dengan apa yang aku lakukan selama bersama dia sejak di Singapore lebih sebulan yang lalu. "Morgan di sini tidak perlu ke kantor telepon, nelponnya di sini saja, bebas berapa lama Morgan mau," lanjut Morgan.

"Bukan begitu Papa?" Gustav seakan meminta validasi Papanya atas apa yang dia sampaikan kepadaku. Papa mengangguk sambil tersenyum lebar.  

Kemudian, kami pun menyelesaikan kegiatan berenang kami, dan ketika aku akan berbilas. Gustav mengajak ke sebuah ruangan terlebih dahulu, rupanya itu adalah ruang sauna keluarga. Wah, rumah keluarga Gustav benar-benar menyenangkan dan lengkap. Berada di sini, benar-benar serasa menikmati akhir pekan dengan segala fasilitasnya.

Selesai semua itu, kami pun masuk ke dalam rumah. Vera pun sudah memanggil untuk langsung menuju ruang makan. Berbagai hidangan untuk sarapan sudah tersedia di meja makan yang bergaya neo klasik itu.

Jika tadi malam, suasana makan malam begitu dingin dan agak "mencekam", pagi ini suasana makan sudah mencair dan banyak canda tawa di sana. Aku pun seperti orang yang bisa berbahasa Jerman. Kata-kata Ibu yang sering menyelipkan Bahasa Jerman kala di Indonesia pun tiba-tiba mejadi sesuatu yang akrab di telingaku.

Setelah semua makanan dicicipi, Papa pun mengajak kami beranjak ke ruang keluarga. Lalu aku mencolek Gustav, untuk menujukkan tempat aku bisa menelepon ibuku di Jakarta. Gustav pun membimbingku ke sebuah pojok ruangan yang ada telepon di atas sebuah meja dengan sofa dengan sandaran tinggi hingga di atas kepala.

Setelah menerangkan segala sesuatu tentang menggunakan telepon dan posisi duduk yang enak kala menelepon, Gustav pun meninggalkanku.

Kala telepon tersambung, terdengar suara Ibu, "Morgan dimana sekarang? Masih di Heidelberg, atau sudah di Stuttgart...?"

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun