Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bantuan Menyengsarakan (Belajar dari Resesi Ekonomi Dunia 1998, Bagian 3)

27 Oktober 2022   08:59 Diperbarui: 27 Oktober 2022   14:29 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Image: Negara berkembang selalu tergantung dengan utang yang tak pernah habis sampai sekarang (File by Merza Gamal)
Image: Negara berkembang selalu tergantung dengan utang yang tak pernah habis sampai sekarang (File by Merza Gamal)

David C. Korten (1999), sebagai penasehat manajemen pembangunan bagi USAID (United State Agency for International Development) membagikan pengalamannya selama 15 tahun tinggal di Asia yang ternyata terasa menyedihkan. Korten mengamati bahwa setiap tahun, jutaan orang digusur dari rumah tempat tinggal mereka dan dari tempat mereka mencari kehidupan demi proyek-proyek pembangunan yang mendapat "bantuan" luar negeri.

Proyek-proyek pembangunan tersebut telah merampas tanah, air, dan tempat perikanan mereka, yang kemudian digunakan sebagai bendungan, perkebunan, kawasan pabrik, tempat pemeliharaan udang, jalan tol, lapangan golf, kawasan wisata, dan instalasi militer. Akhirnya,  mereka yang tergusur, dalam banyak kasus, telah didorong dari miskin menjadi total miskin. Sementara itu, orang yang lebih kaya meraup keuntungan dari penggusuran tersebut.

Kepemilikan orang-orang miskin tersebut yang diambil tersebut, penggunaannya beralih dari yang berkelanjutan menjadi tidak berkelanjutan. Hal yang semula bertujuan untuk mengejar pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), ternyata, tidak dinikmati oleh orang-orang miskin yang terus bertambah.

 Pembangunan tersebut akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang yang telah memiliki lebih dari apa yang mereka perlukan sebelumnya, serta menyisakan permasalahan utang negara-negara Asia yang semakin menumpuk dari hari ke hari.

Apakah setelah krisis moneter 1998 yang membawa dampak sangat panjang, telah berakhir? Dan, praktek pinjaman internasional yang didapat negara sedang berkembang saat ini terbebas dari praktek yang terjadi pada era 1970-1990? Lalu, jika negara gagal bayar tidak akan mengalami nasib seperti yang terjadi pada resesi ekonomi dunia 1998?

Mungkin Kompasianer dan para pakar yang banyak di sini bisa menjawabnya.

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun