Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bantuan Menyengsarakan (Belajar dari Resesi Ekonomi Dunia 1998, Bagian 3)

27 Oktober 2022   08:59 Diperbarui: 27 Oktober 2022   14:29 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Belajar dari Resesi Ekonomi Dunia 1998, Bagian 3 (by Merza Gamal)

Pada dekade 70-90  tidak sedikit pinjaman internasional dicurahkan kepada berbagai negara untuk membiayai pembangunan mereka. Pinjaman tersebut dianggap sebagai bantuan luar negeri yang diterima denga suka cita. Namun, kemudian menjadi penyebab multi krisis pada tahun 1997-1998 yang dampak terasa lama dan berkepanjangan.

Pertumbuhan ekonomi yang dibiayai oleh pinjaman tersebut, awalnya diyakini akan memberi trickle down effect kepada masyarakat, namun dalam kenyataan kemudian malah menimbulkan bubble gum economic. 

Menurut Jhon Perkins (2004), yang pernah terlibat sebagai seorang Economic Hit Man (EHM), bantuan-bantuan kepada negara berkembang oleh lembaga "donor" internasional memuat persyaratan, bahwa perusahaan rekayasa dan konstruksi negara asal pemberi bantuan yang harus membangun semua proyek bantuan.

Kantor perbankan yang memberikan pinjaman akan mentransfer dana kepada kantor bagian rekayasa atau konstruksi yang membangun proyek yang senegara. Artinya, dana tidak pernah meninggalkan negara pemberi bantuan karena uang yang diterima negara penerima bantuan hampir dengan seketika dikembalikan kepada korporasi yang merupakan anggota corporatocracy (kreditur). Penerima bantuan harus membayar semua beserta bunganya.

Jika pinjaman mengalami gagal bayar pada waktu yang sudah ditetapkan, maka anggota corporatocracy akan menuntut pembayaran penuh, dengan disertai tindakan-tindakan pengendalian atas hak pilih di PBB, instalasi pangkalan militer, atau akses kepada sumber daya yang berharga. Namun, walaupun negara penerima bantuan telah menerima tindakan tersebut, bukan berarti pinjaman yang belum dibayar menjadi lunas.

Dampak yang dirasakan oleh Negara penerima bantuan bahkan menerima dampak yang jauh lebih buruk daripada sebelum menerima bantuan dua puluh tahun sebelumnya. Ekuador, misalnya, mengalami peningkatan kemiskinan dari 50% menjadi 70% setelah menerima bantuan. Pengangguran bertambah dari 15% menjadi 70%. 

Hutang Negara meningkat dari USD 240 juta menjadi USD 16 milyar dalam rentang 2 dekade. Sementara itu, sumber daya nasional yang dialokasikan untuk segmen penduduk paling miskin menciut dari 20% menjadi 6%.

Negara-negara berkembang yang membangun proyek-proyek melalui pembiayaan dengan pinjaman dari lembaga keuangan internasional dan perbankan negara-negara maju akhirnya terjerat dalam krisis moneter 1998. 

Pinjaman yang pada awalnya dirasakan sebagai bantuan telah menyeret mereka dalam utang luar negeri yang tidak pernah habis dan entah kapan akan berakhir. Anggaran nasional mereka mesti mempersembahkan porsi yang luar biasa besarnya untuk membayar hutang-hutang mereka. 

Sementara itu anggaran untuk membantu jutaan warga mereka semakin berkurang. Akibatnya masyarakat mereka menjadi golongan melarat pada tingkat yang berbahaya.

Image: Negara berkembang selalu tergantung dengan utang yang tak pernah habis sampai sekarang (File by Merza Gamal)
Image: Negara berkembang selalu tergantung dengan utang yang tak pernah habis sampai sekarang (File by Merza Gamal)

David C. Korten (1999), sebagai penasehat manajemen pembangunan bagi USAID (United State Agency for International Development) membagikan pengalamannya selama 15 tahun tinggal di Asia yang ternyata terasa menyedihkan. Korten mengamati bahwa setiap tahun, jutaan orang digusur dari rumah tempat tinggal mereka dan dari tempat mereka mencari kehidupan demi proyek-proyek pembangunan yang mendapat "bantuan" luar negeri.

Proyek-proyek pembangunan tersebut telah merampas tanah, air, dan tempat perikanan mereka, yang kemudian digunakan sebagai bendungan, perkebunan, kawasan pabrik, tempat pemeliharaan udang, jalan tol, lapangan golf, kawasan wisata, dan instalasi militer. Akhirnya,  mereka yang tergusur, dalam banyak kasus, telah didorong dari miskin menjadi total miskin. Sementara itu, orang yang lebih kaya meraup keuntungan dari penggusuran tersebut.

Kepemilikan orang-orang miskin tersebut yang diambil tersebut, penggunaannya beralih dari yang berkelanjutan menjadi tidak berkelanjutan. Hal yang semula bertujuan untuk mengejar pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), ternyata, tidak dinikmati oleh orang-orang miskin yang terus bertambah.

 Pembangunan tersebut akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang yang telah memiliki lebih dari apa yang mereka perlukan sebelumnya, serta menyisakan permasalahan utang negara-negara Asia yang semakin menumpuk dari hari ke hari.

Apakah setelah krisis moneter 1998 yang membawa dampak sangat panjang, telah berakhir? Dan, praktek pinjaman internasional yang didapat negara sedang berkembang saat ini terbebas dari praktek yang terjadi pada era 1970-1990? Lalu, jika negara gagal bayar tidak akan mengalami nasib seperti yang terjadi pada resesi ekonomi dunia 1998?

Mungkin Kompasianer dan para pakar yang banyak di sini bisa menjawabnya.

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun