Pemasukan mata uang asing yang besar pada fase mukjizat Asia, dengan cepat mencetuskan gelembung-gelembung keuangan yang berkembang dalam saham dan real estate.Â
Pertumbuhan yang cepat dalam impor dan penjualan barang-barang konsumsi mewah, menciptakan sebuah khayalan kemakmuran ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan suatu pertambahan dalam hasil produkstif yang sesungguhnya.Â
Gelembung-gelembung yang semakin berkembang itu, lalu menarik lebih banyak uang lagi.
Bank-bank internasional menciptakan uang dengan menerbitkan hutang yang diperoleh dari asset-asset yang digelembungkan itu. Investasi industri dan pertanian produktif tidak mampu bersaing dengan hasil-hasil yang diperoleh dari spekulasi saham dan real estate.Â
Oleh karena itu, investasi asing yang masuk ke dalam sebuah negara, memperbanyak uang-uang yang mengalir keluar dari sektor-sektor produktif untuk ikut serta dalam ajang spekulasi.
Ketika terjadi goncangan, para investor segera menarik uang mereka keluar untuk mengantisipasi keambrukan. Akibatnya, harga saham dan real estate menjadi jatuh.Â
Namun demikian, bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya dibiarkan begitu saja dengan sejumlah besar daftar hutang yang tidak dapat ditagih. Mengeringnya likuiditas mengancam kehancuran keuangan. Â
Dalam rangka penyelamatan atas  kondisi tersebut, pemerintah membayarkan hutang-hutang para banker dan badan-badan investasi dengan uang pemerintah.Â
IMF pun tak kalah bergegas membantu dengan hutang darurat yang dijamin oleh pemerintah. IMF memberikan bantuan USD 57 milyar kepada Korea Selatan pada bulan Desember 1997, sebagai contoh.
Seketika dengan bantuan tersebut, pasar saham Korea meningkat kembali dengan bergairah. Akan tetapi yang menyedihkan, para spekulator mengambil uang IMF itu dan melarikan diri.Â