Seringkali kita mendengar istilah, bercermin dulu sebelum menilai orang lain. Bercermin dalam hal ini bermakna kiasan, sebagai tindakan untuk intropeksi atau menilai diri sendiri dari segala hal.
Hal yang perlu kita perhatikan saat bercermin adalah kualitas cermin itu sendiri. Apabila cerminnya bening, bersih dan tidak rusak, tentu bayangan yang ditampakkan juga akan kelihatan jelas.Â
Saat kita mengevaluasi diri, yang menjadi cermin adalah ilmu, adab, dan akhlak. Semakin baik ilmu, adab, dan akhlak yang kita miliki, maka semakin objektif penilaian yang kita lakukan.
Manusia ditakdirkan oleh Allah sebagai makhluk yang tak lepas dari kekhilafan dan kesalahan. Sudah semestinya setiap manusia senantiasa bisa instrospeksi, mengkoreksi kesalahan diri sendiri, kemudian dijadikan pelajaran agar bisa berbenah diri. Bercermin diri bisa menjadi bahan perenungan sebelum menilai orang lain. Kita sering kali mengurusi hidup orang lain seperti mengomentari bahkan hingga menghakimi dengan ukuran diri sendiri.
Kondisi tersebut membuat kita terlihat sombong dan memandang orang lain lebih rendah. Padahal, diri sendiri masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Semestinya saling introspeksi, bukan saling mengoreksi. Oleh karena itu, kita perlu bercermin atau introspeksi sebelum menilai orang lain. Introspeksi atau refleksi diri merupakan proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran mendalam yang didasari keinginan.
Pada setiap kejadian yang menyakitkan, selalu ada pelajaran yang dapat kita petik selama kita mau introspeksi diri. Kesulitan senantiasa menghadirkan peluang untuk introspeksi diri. Untuk itu, tetaplah bersabar dalam setiap kekalahan kita, dan tetaplah introspeksi dalam setiap kesalahan kita, serta tetaplah rendah hati dalam setiap kemenangan kita.
Hal yang harus kita sadari dalam mengintropeksi diri ada penyakit yang kerap menghinggapi manusia, yaitu lupa akan aib diri dan ingat akan aib orang lain, malas menelisik aib diri dan senang menelisik aib orang lain, tidak mau tahu dengan keburukan diri dan sangat ingin tahu keburukan orang lain.
Apa akibatnya? Kita menjadi terhalang dari kebenaran, susah melakukan perbaikan, dan akhirnya mengalami kebangkrutan amal. Pahala dari amal kebaikan kita pun habis sedangkan catatan keburukan kita semakin menggunung. Oleh karena itu, sibukanlah diri kita untuk menelisik aib diri sendiri daripada sibuk mencari-cari aib orang lain. Hal tersebut merupakan awal bagi kita untuk meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Imam Al-Ghazali memberikan empat formula jitu cara bagaimana kita mengetahui aib-aib diri sehingga kita bisa bersegera untuk memperbaiki diri, yaitu sebagai berikut:
- Duduklah di hadapan guru yang cerdas akalnya lagi tajam mata batinnya. Dalam arti, seorang guru diberi kemampuan oleh Allah untuk bisa mengetahui kekurangan yang ada serta memahami penyakit jiwa yang terselip dalam diri manusia.
- Mencari sahabat yang jujur, teliti, taat dalam menjalankan perintah agamanya. Kita dapat menjadikannya sebagai orang yang setia memperhatikan tingkah laku kita dan siap menegur kita apabila ada salah.
- Mengambil pelajaran dan manfaat dari lisan orang-orang yang benci karena orang yang memendam kebencian, pandangannya akan lebih sensitif terhadap segala keburukan orang yang dibencinya. Apa yang mereka ucapkan tentang kita, pada hakikatnya adalah mutiara berharga untuk kita ambil sebagai bahan evaluasi diri.
- Bergaul dengan orang lain dan berusaha untuk peka dengan beragam fenomena yang terjadi di sekitar kita. (Disarikan dari Tazkiyatun Nafs karya Sa'id Hawwa)
Dengan demikian, kunci dalam menilai diri sendiri adalah ilmu sebagai cermin kehidupan. Jangan pernah bosan untuk selalu menambah dan memperbaharui ilmu itu, agar penilaian yang kita lakukan terhadap diri kita selalu tepat.
Ilmu yang bermanfaat akan selalu menjadi cermin yang baik, dan menjadikan pemiliknya selalu berhati-hati dalam bertindak. Namun demikian, tak semua orang dianegurahi kelebihan dalam ilmu. Maka yang terjadi, tidak semua orang bisa menilai dirinya sendiri dengan baik dan tepat.
Oleh karena itu, mengapa ketika kita melihat aib (perbuatan tercela) orang lain, maka bersegeralah kita bercermin diri untuk introspeksi dan menisbatkannya dengan perbuatan diri sehingga kita tidak melakukan keburukan serupa.
Namun, perlu diingat bahwa cermin itu memiliki tipuan yang sangat halus, yaitu merubah semua sisi yang kanan menjadi sisi kiri dan sebaliknya. Sebaik apapun bayangan yang ditampilkan, tetap saja sisi yang kanan telah berubah menjadi sisi kiri. Jika kita menyadari hal ini, tidak akan menjadi masalah.
Begitupun dalam menilai diri sendiri, kita harus sadar bahwa kita bisa saja tertipu dengan penilaian yang kita berikan. Bisa jadi efek selalu merasa benar, menjadikan penilaian yang kita berikan selalu subjektif.Â
Akhirnya yang tidak baik dianggap baik, seperti cermin yang merubah sisi kiri menjadi sisi kanan.Tindakan untuk selalu mengoreksi diri, adalah perbuatan yang akan selalu menuntun kita, agar tak terjerumus ke dalam perbuatan yang merugikan.
Wallahua'alam bishowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H