Sementara itu, di Indonesia yang mempunyai filosofi Pancasila dengan Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, belum secara kuat, sekurangnya pada saat ini, untuk menanamkan moral yang kuat dan adab dalam kehidupan dalam dunia pendidikan. Lembaga Pendidikan di Indonesia, masih lebih mengutamakan penghapalan ilmu dan penguasaan keterampilan.
Namun, ternyata penghapalan ilmu dan penguasaan keterampilan yang diajarkan di sekolah Indonesia juga tidak lebih baik dari negara-negara lain. Hal ini dibuktikan oleh survei CEOWorld, yang mengkaji kualitas pendidikan terbaik di dunia pada 2020. Indonesia tidak masuk dalam 10 besar bahkan 50 besar negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Indonesia hanya mendapatkan skor 46,4 dari 100 dan berada di peringkat ke-70 dari 93 negara yang disurvei. Sementara peringkat tertinggi dipegang oleh Inggris dengan skor 88,2 poin.
Rasanya dalam kondisi dunia yang sudah semakin terbuka dan era digitalisasi sudah merambah dunia, dunia Pendidikan di Indonesia harus mulai menyadari pentingnya mengintegrasikan pembangunan moral dengan mengajarkan adab dan ilmu secara beriringan di sekolah.
Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana agama lainnya di dunia telah mengajarkan pentingnya adab dalam menjalankan roda kehidupan. Pengertian adab sejak masa awal Islam secara konseptual menyatu dengan ilmu yang benar ('ilm), tindakan yang tepat serta tulus ('amal) serta secara signifikan terlibat dalam peniruan intelektual (intelligent emulation) dalam Sunnah Rasulullah Saw.
Bahkan, beberapa kalam para ulama terdahulu menunjukkan sikap mendahulukan adab daripada ilmu. Imam Abu Hanifah berkata, "Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih (ilmu). Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka." Dalam kisah lain, Abdurrahman bin al-Qosim (ahli fikih madzhab Maliki dari Mesir) mengatakan: "Aku berkhidmat kepada imam Malik radhiallahu 'anhu selama dua puluh tahun. Selama itu, dua tahun aku belajar ilmu, dan delapan belas tahun belajar adab." Bahkan, sebagian ulama menasihati anaknya: "Wahai anakku, belajar satu bab adab itu sesungguhnya lebih aku sukai daripada kamu belajar tujuh puluh bab ilmu".
Dari beberapa kisah tersebut di atas, dapat kita ambil pelajaran, bahwa belajar adab itu lebih utama daripada pengajaran ilmu itu sendiri. Hal tersebutlah yang dipraktekkan oleh dunia Pendidikan di Jepang dan juga di beberapa negara maju lainnya.
Dalam dunia pendidikan dikenal teori taksonomi yang berarti klasifikasi berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi yang dikenalkan oleh seorang psikolog bernama Benjamin Samuel Bloom pada tahun 1956, dan dikenal sebagai Taksonomi Bloom.
Proses pendidikan adab yang terintegrasi dengan pembelajaran ilmu dapat mengacu kepada Taksonomi Bloom melalui tiga pentahapan, yaitu:
Tahap Pertama, Kognitif
Ranah kognitif meliputi fungsi memproses nilai-nilai moral dan adab menjadi informasi, pengetahuan dan keahlian mentalitas bagi seluruh peserta didik. Ranah kognitif menggolongkan dan mengurutkan keahlian berpikir yang menggambarkan tujuan pendidikan anak sebagai kader bangsa yang diharapkan.
Tahap Kedua, Afektif
Ranah afektif meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan, sehingga nilai-nilai moral dan adab terinternalisasi dalam perilaku (behavior) peserta didik. Seluruh peserta didik terampil menerapkan nilai-nilai moral dan adab menjadi karya sebagai hasil belajar afektif (yang tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku).