Tak jarang kita melihat di jalanan, tiba-tiba dari sebuah mobil mewah ada yang membuang sampah ke jalan. Di lain waktu, kita lihat orang yang tidak sabar menyerobot antrian. Atau ada anak muda yang memaki-maki orang tua dari kendaraannya di jalan raya.
Di sisi lain, kita juga merasakan betapa orang dengan mudah tidak menepati waktu yang telah dijanjikan. Lalu, dalam bekerja sering tidak disiplin, datang terlambat, pulang sebelum waktunya, menuntut hak paling dulu, melaksanakan kewajiban belakangan, dan tidak menghargai orang yang lebih tua, menganggap ilmunya lebih tingg daripada yang lain.
Dan, yang lebih parah daripada itu semua, adalah semua ingin serba instant, sehingga terkadang mengambil sesuatu yang bukan haknya dan melupakan atau melepaskan kewajibannya serta tidak menjalankan amanah yang diterimanya.
Jika kita telaah, mereka yang berperilaku demikian, bukan orang-orang yang tidak sekolah, bahkan pendidikan mereka terkadang melebihi pendikan rata-rata anak negeri. Mereka memliki sederetan ijazah, diploma dan dilengkapi lagi dengan berbagai sertifikasi.
Lantas, apa yang salah dari semua itu? Apakah selama mereka di sekolah dan di Lembaga Pendidikan yang mereka lalui tidak belajar tentang adab?
Apabila kita amati sistem Pendidikan di tanah air kita tercinta saat ini, memang lebih menitikberatkan pengajaran daripada Pendidikan. Murid lebih dipicu untuk menghapal segala macam pelajaran dan terampil dalam berbagai bidang. Merela sangat sedikit memperoleh pendidikan yang berkaitan dengan moral dan budi pekerti, sehingga mereka tidak paham menjalankan adab dalam pergaulan dan kehidupan mereka, baik ketika mereka masih sekolah atau pun sudah memasuki dunia kerja.
Belajar dari sistem pendidikan di Jepang pada anak usia dini, para murid tidak langsung dijejali berbagai pelajaran ilmu, tetapi mereka terlebih dahulu ditanamkan adab dalam menjalankan kehidupan.
Di Jepang, anak-anak sekolah dasar diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta Menghargai Kelompok dan Komunitas (Relation to Group & Society). Keempat aspek tersebut diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.
Anak-anak SD Jepang dididik dengan selalu menanamkan bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Anak-anak tersebut perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Oleh karena itu, tidak heran jika kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Baik itu di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Semua itu terjadi karena hal-hal tersebut telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.
Bangsa Jepang memiliki filosofi hidup yang diajarkan sejak dini kepada anak-anak, yaitu bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Landasan filosofi tersebut berlandaskan kepada ajaran tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, sehingga membentuk moral bangsa Jepang. Filosofi tersebut sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang. Dan sejak masih usia dini, anak-anak sudah diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.