Dalam dasawarsa terakhir, tempat kerja berubah secara mendalam, mulai dari cara berkomunikasi, hingga budaya perusahaan dan cara insan melakukan pekerjaan sehari-hari. Percepatan perubahan tersebut bisa memusingkan, ditambah lagi dengan teknologi baru dan tanda permanen dari pandemi global.
Oleh karena itu, perusahaan harus terus berinovasi dalam kebijakan Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI=Diversity, Equity and Inclusion) mereka. Hal tersebut diperkuat pula oleh hasil kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan, "Perusahaan dengan budaya dan kebijakan bisnis yang lebih inklusif mengalami peningkatan inovasi sebesar 59% dan penilaian minat dan permintaan konsumen yang lebih baik sebesar 37%."
Kondisi tersebut sangat penting  saat melakukan akuisisi dan perekrutan talent, di mana persaingan untuk orang-orang top sangat ketat dari kondisi sebelumnya. Para talent saat ini membutuhkan insentif untuk membangun tempat kerja terkait keberagaman, kesetaraan, dan inklusi, untuk menghasilkan hasil yang lebih baik.
Definisi DEI masih ada ketidakjelasan yang nyata di sekitar masing-masing istilah ini. Pada beberapa kalangan, masih terdengar satu atau beberapa istilah ini digunakan secara bergantian. Di tempat lain, ditemukan DEI digunakan sebagai semacam tangkapan non-spesifik, ketika mungkin lebih produktif untuk mengasah bagian tertentu dari konsep ini untuk tujuan mengidentifikasi peningkatan dan meluncurkan inisiatif.
Jadi, apa sebenarnya keberagaman (diversity) itu? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesetaraan (equity) dan inklusi (inclusion) tersebut? Lalu apa perbedaan antara setiap istilah?
Secara umum, keberagaman, kesetaraan dan inklusi dapat digambarkan sebagai berikut:
- Keberagaman (diversity)Â adalah kehadiran perbedaan dalam pengaturan tertentu. Di tempat kerja, itu bisa berarti perbedaan ras, etnis, jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, usia dan kelas sosial ekonomi.
- Kesetaraan (equity) adalah tindakan untuk memastikan bahwa proses dan program tidak memihak, adil dan memberikan hasil yang mungkin sama untuk setiap individu.
- Inklusi (inclusion)Â adalah praktik memastikan bahwa orang merasakan rasa memiliki di tempat kerja, yang berarti bahwa setiap insan perusahaan merasa nyaman dan didukung oleh organisasi dalam hal menjadi diri mereka yang sebenarnya.
Terjadinya perbedaan dalam pemahaman "keberagaman" adalah karena adanya kecenderungan untuk menyebut orang, atau seseorang, sebagai "beraneka-ragam". Bahkan dengan niat terbaik, merujuk orang dengan cara ini terasa seperti eufemisme untuk "di luar mayoritas," atau "berbeda dari kelompok dominan." Â Pembingkaian keragaman seperti ini sangat menyesatkan. Akan tetapi, mengasumsikan kita semua sama adalah penyederhanaan berlebihan yang merusak. Â Pemasalahan keanekargaman terasa di antara banyak pencari kerja, spesialis akuisisi talent, dan profesional SDM.
Perlakuan menyeluruh terhadap keragaman tidak berhasil karena semua persepsi tentang keragaman adalah sama. Dalam beberapa kelompok, seperti milenium, menganggap apa yang disebut "keragaman tempat kerja" sebagai kombinasi dari banyak latar belakang yang berbeda. Pada saat yang sama, generasi yang lebih tua cenderung melihat keragaman lebih melalui lensa representasi yang setara dan adil.
Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa keberagaman bukanlah tentang apa yang membuat orang berbeda seperti ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Akan tetapi, lebih banyak tentang memahami, menerima, dan menghargai perbedaan tersebut.
Dengan demikian, konseptualisasi keragaman merupakan perwujudan komposisi kelompok, yang kemungkinan terdiri dari banyak atau semua jenis keragaman yang merupakan gabungan dari berbagai perbedaan yang diwakili --- dan berbicara satu sama lain --- di dalamnya.
Keberagaman mengacu pada banyak cara orang berbeda, sementara kesetaraan adalah tentang menciptakan akses, peluang, dan kemajuan yang adil untuk semua orang yang berbeda tersebut. Kesetaraan menciptakan lapangan bermain yang adil, menggunakan metafora yang sudah dikenal.
Sebagai contoh untuk memahami kesetaraan dapat kita ambil topik transportasi. Tidak semua orang dalam suatu organisasi perusahaan akan memiliki mobil, atau bahkan mampu membayar transportasi umum setiap hari. Perusahaan dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dengan mengakomodasi spektrum penuh kebutuhan transportasi, mulai dari kebijakan seputar waktu mulai dan jam kerja hingga tunjangan untuk perjalanan mobil dan transportasi umum.
Masalah akses, peluang, dan kemajuan jauh melampaui cara kita bekerja. Perempuan, misalnya, secara historis kurang terwakili, seperti juga berbagai minoritas di seluruh dunia, bahkan di Amerika Serikat yang katanya merupakan negara paling maju menjadi masalah yang berlanjut bahkan hingga hari ini.
Inisiatif kesetaraan yang berhasil, kemudian, harus membangun keadilan dan perlakuan yang sama ke dalam struktur organisasi. Hal tersebut memerlukan desain untuk menciptakan, memelihara, dan melindungi kesetaraan di seluruh organisasi berupa kerangka kerja yang mendukung penyaringan talent yang adil, perekrutan, standar tempat kerja, dan sebagainya.
Sering terjadi kesalahpahaman umum bahwa lingkungan di mana keberagaman dan kesetaraan adalah prioritas secara alami menghasilkan inklusi. Pengertian dari inklusi adalah sejauh mana berbagai anggota tim, insan perusahaan, dan orang lain merasakan rasa memiliki dan nilai dalam pengaturan organisasi tertentu. Perbedaan penting yang perlu dipahami di antara tim yang paling beragam sekalipun, bahwa perasaan inklusi tidak selalu ada. Misalnya, perempuan mungkin terwakili dengan baik di tingkat manajemen senior, tetapi masih belum merasa diikutsertakan karena norma gender yang sudah berlangsung lama, perbedaan gaji, dan faktor lainnya.
Mengevaluasi inklusi organisasi harus dimulai dengan empati. Berdasarkan laporan Quantum Workplace, Â sekitar 48% insan perusahaan percaya bahwa rasa hormat adalah yang paling penting untuk menciptakan tempat kerja yang inklusif. Hal tersebut berarti tidak hanya menghormati perbedaan orang, tetapi juga mempertimbangkan lingkungan secara lebih luas dari sudut pandang mereka, yaitu:
- Keseimbangan pengalaman untuk kelompok yang kurang terwakili;
- Hambatan untuk masuk baik struktural maupun sosial yang mungkin berperan;
- Titik buta (blind spot) dan asumsi yang mungkin bertentangan dengan lingkungan yang lebih inklusif.
Dengan demikian, penting untuk mempertimbangkan aspek inklusi dari sudut pandang insan perusahaan. Apakah mereka merasakan komunitas dan koneksi? Apakah mereka merasa berkontribusi setiap hari? Apakah mereka merasakan tujuan yang sama dengan rekan kerja dan rekan kerja mereka?
Sumber bacaan:
Â
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H