Sebagai contoh untuk memahami kesetaraan dapat kita ambil topik transportasi. Tidak semua orang dalam suatu organisasi perusahaan akan memiliki mobil, atau bahkan mampu membayar transportasi umum setiap hari. Perusahaan dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dengan mengakomodasi spektrum penuh kebutuhan transportasi, mulai dari kebijakan seputar waktu mulai dan jam kerja hingga tunjangan untuk perjalanan mobil dan transportasi umum.
Masalah akses, peluang, dan kemajuan jauh melampaui cara kita bekerja. Perempuan, misalnya, secara historis kurang terwakili, seperti juga berbagai minoritas di seluruh dunia, bahkan di Amerika Serikat yang katanya merupakan negara paling maju menjadi masalah yang berlanjut bahkan hingga hari ini.
Inisiatif kesetaraan yang berhasil, kemudian, harus membangun keadilan dan perlakuan yang sama ke dalam struktur organisasi. Hal tersebut memerlukan desain untuk menciptakan, memelihara, dan melindungi kesetaraan di seluruh organisasi berupa kerangka kerja yang mendukung penyaringan talent yang adil, perekrutan, standar tempat kerja, dan sebagainya.
Sering terjadi kesalahpahaman umum bahwa lingkungan di mana keberagaman dan kesetaraan adalah prioritas secara alami menghasilkan inklusi. Pengertian dari inklusi adalah sejauh mana berbagai anggota tim, insan perusahaan, dan orang lain merasakan rasa memiliki dan nilai dalam pengaturan organisasi tertentu. Perbedaan penting yang perlu dipahami di antara tim yang paling beragam sekalipun, bahwa perasaan inklusi tidak selalu ada. Misalnya, perempuan mungkin terwakili dengan baik di tingkat manajemen senior, tetapi masih belum merasa diikutsertakan karena norma gender yang sudah berlangsung lama, perbedaan gaji, dan faktor lainnya.
Mengevaluasi inklusi organisasi harus dimulai dengan empati. Berdasarkan laporan Quantum Workplace, Â sekitar 48% insan perusahaan percaya bahwa rasa hormat adalah yang paling penting untuk menciptakan tempat kerja yang inklusif. Hal tersebut berarti tidak hanya menghormati perbedaan orang, tetapi juga mempertimbangkan lingkungan secara lebih luas dari sudut pandang mereka, yaitu:
- Keseimbangan pengalaman untuk kelompok yang kurang terwakili;
- Hambatan untuk masuk baik struktural maupun sosial yang mungkin berperan;
- Titik buta (blind spot) dan asumsi yang mungkin bertentangan dengan lingkungan yang lebih inklusif.
Dengan demikian, penting untuk mempertimbangkan aspek inklusi dari sudut pandang insan perusahaan. Apakah mereka merasakan komunitas dan koneksi? Apakah mereka merasa berkontribusi setiap hari? Apakah mereka merasakan tujuan yang sama dengan rekan kerja dan rekan kerja mereka?
Sumber bacaan:
Â
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H