Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Larangan Perjanjian Perkawinan untuk Bercerai dalam Peraturan Hukum Indonesia

19 Agustus 2022   10:00 Diperbarui: 19 Agustus 2022   10:03 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo ilustrasi by Merza Gamal

Pada jaman Kakek Merza dan orang tua kita terdahulu, perjanjian pranikah yang mengatur kehidupan setelah perkawinan merupakan sesuatu yang jarang dilakukan bahkan dianggap tabu, karena niat suci dari pernikahan itu adalah merajut hidup bersama pasangan hingga hari akhir menjelang.

Niat suci tersebut juga tersirat dan tersurat dalam Peraturan Perundangan Hukum Perkawinan Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 menyatakan bahwa, "Perkawinan adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu perikatan atau perjanjian yang juga terdapat sangat banyak di dalam hukum perdata pada umumnya. Perjanjian sendiri adalah suatu yang sangat penting dalam hukum, oleh karena setiap orang yang mengadakan perjanjian sejak semula mengharapkan supaya janji itu tidak diputus ditengah jalan.

Demikian juga dengan perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Dalam akad nikah dan perjanjian perkawinan menjadi kesatuan ikrar pernikahan yang merupakan satu kesatuan telah mengatur hak dan kewajiban selama sepasang insan menjalani kehidupan rumah tangga dan keluarga mereka. Namun demikian, perjanjian pranikah untuk melengkapi janji nikah yang diikrarkan saat akad nikah tidak dilarang dalam peraturan hukum Indonesia.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur tentang syarat sah perjanjian, perlu dipenuhi empat unsur yakni:

  • 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  • 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  • 3. suatu pokok persoalan tertentu;
  • 4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Ke empat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif); Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif) dan batal demi hukum (unsur objektif).

Memperhatikan pasal 1320 KUHPerdata, maka dalam membuat perjanjian pranikah juga harus dipenuhi syarat sah perjanjian tersebut. Membuat perjanjian pisah harta  tidak dilarang, walaupun sebenarnya sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur pewarisan bagi umat Islam. Dalam sebuah rumahtangga Islam, setiap orang punya hak sendiri-sendiri atas harta yang dimilikinya. Suami punya harta dan harta itu miliknya sepenuhnya. Isteri punya harta dan harta itu milik dirinya sepenuhnya. Demikian juga anak-anak, mereka punya harta dan harta itu milik diri mereka sendiri.

Dengan demikian, untuk perjanjian hal-hal lain dalam pernikahan tidak dilarang selama tidak bertentagan dengan pasal 1320 KUHPerdata. Selain perjanjian pisah harta, yang mengemuka dalam pernikahan saat ini adalah perjanjian nikah untuk waktu tertentu (kawin kontrak).

Kawin kontrak adalah perkawinan di mana seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dan dalam waktu tertentu, yang mana perkawinan akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan tanpa adanya talak serta tidak adanya kewajiban untuk memberi nafkah, tempat tinggal dan hak mewaris.

Objek dalam perjanjian kawin kontrak adalah perkawinan yang dibatasi waktu.  Perkawinan yang dibatasi oleh waktu bukanlah merupakan suatu barang dan bisa diperdagangkan. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata, bahwa sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah berupa barang yang dapat diperdagangkan. Dengan demikian, perjanjian kawin kontrak secara jelas melanggar syarat objektif perjanjian yaitu suatu hal tertentu, di mana yang menjadi objek dari suatu perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan jenisnya.

Syarat objektif lainya yang tidak dipenuhi adalah suatu sebab yang halal. Perjanjian yang terdapat dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Undang-Undang Perkawinan (Pasal 1), dan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 2, 5 dan 6).

Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang dalam undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. Biasanya, perjanjian dalam kawin kontrak mengatur tentang jangka waktu atau lamanya perkawinan, imbalan yang diperoleh oleh salah satu pihak, hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

Kawin kontrak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah nikah mut'ah, yakni merupakan perkawinan yang dilaksanakan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang atau akad perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap wanita untuk waktu yang telah ditentukan atau diketahui, misalnya satu atau dua hari, seminggu atau lebih, sebulan atau bahkan sampai bertahun-tahun.

Sesuai dengan empat Mazhab dalam Hukum Islam, yakni: Maliki, Syafi'i, Hanafi dan Hambali telah sepakat bahwa kawin kontrak/nikah mut'ah hukumnya haram dan tidak sah (batal). Imam Syafi'i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui atau yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri.

Oleh karena dalam peraturan hukum Indonesia, perjanjian kawin kontrak merupakan sebuah perjanjian yang batal demi hukum. Dan, demikian pula dalam Hukum Islam yang mendasari perkawinan bagi umat Islam di Indonesia melarang adalah perjanjian kawin kontrak, maka akibat hukum dari kawin kontrak terhadap wanita adalah tidak dianggap sebagai sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika meninggal dunia, tidak berhak atas harta bersama selama masa perkawinan (jika terjadi perpisahan), karena secara hukum perkawinan, sebuah perkawinan kontrak dianggap tidak pernah terjadi.

Image: Niat suci dari pernikahan adalah merajut hidup bersama pasangan hingga hari akhir menjelang (by Merza Gamal)
Image: Niat suci dari pernikahan adalah merajut hidup bersama pasangan hingga hari akhir menjelang (by Merza Gamal)

Lebih jauh lagi, akibat hukum dari perkawinan kontrak terhadap anak yang lahir dianggap sebagai anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal tersebut sesuai dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dimana anak tersebut tidak mendapat pengakuan dari sang ayah serta masalah perwalian, pendidikan, dan pemeliharaan serta hak waris dari ayahnya.

Dengan demikian, dalam perspektif hukum positif Indonesia, kawin kontrak merupakan perkawinan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Wallahua'alam bishawab...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun