Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Memperbaiki Dunia Kerja yang Rusak

23 Juni 2022   08:44 Diperbarui: 23 Juni 2022   08:50 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

81.396 jam adalah banyaknya hidup yang kita habiskan untuk bekerja. Satu-satunya hal yang menghabiskan lebih banyak waktu kita adalah tidur.

Jika kita menghabiskan begitu banyak hidup di tempat kerja, bagaimana kehidupan di tempat kerja?

Survei Gallup menemukan 60% orang secara emosional terlepas di tempat kerja dan 19% sengsara. Dengan demikian, menurut dunia pekerja, kehidupan di tempat kerja saat ini tidak baik.

"Kerja menyebalkan" sudah kita dengan sejak dulu dan ada di mana-mana. Jaman Kakek Merza dulu, jika kita sedang "hang out" pada minggu sore dan malamnya hampir pasti lagu penutupnya adalah "I don't like Mondays" yang diciptakan oleh Bob Geldof pada tahun 1979 dan dilantunkan oleh Boomtown Rat.

Hal tersebut juga telah menjadi subjek para filsuf kuno, pemimpin dunia, kolega Anda, dan bahkan budaya pop. Komedian George Carlin pernah menyindir, "Oh, Anda membenci pekerjaan Anda? Mengapa Anda tidak mengatakannya? Ada kelompok pendukung untuk itu. Namanya SEMUA ORANG, dan mereka bertemu di bar (bagi generasi sekarang mungkin di caf atau coffee shop)."

Lelucon Carlin dan lagu Bob Geldof menjadi hit dan popular karena itu benar, tetapi kesengsaraan di tempat kerja bukanlah sesuatu yang lucu. Menjadi sengsara di tempat kerja dapat membawa lebih banyak penderitaan dalam hidup seseorang daripada menjadi pengangguran.

Mungkin Anda pernah mendengar pepatah berikut, "Temukan pekerjaan yang Anda sukai, dan Anda tidak akan pernah harus bekerja lagi dalam hidup Anda." Kutipan ini sering disalahartikan sebagai Mark Twain atau Konfusius. Akan tetapi, terlepas dari mana asalnya, pepatah populer tersebut memiliki masalah yang berbeda: Itu tidak benar.

Menurut Oxford Languages "Bekerja" adalah "aktivitas yang melibatkan upaya mental atau fisik yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau hasil." Namun dalam kenyataannya, mengerahkan upaya mental atau fisik untuk mencapai sesuatu jarang dilakukan tanpa stres, khawatir atau bahkan rasa sakit.

Peraih Nobel dan penulis buku terlaris Daniel Kahneman pernah berkata ada "saat-saat ketika dia bekerja sendirian dalam menulis yang 'mengerikan', ketika dia merasa 'sengsara.'" Stres, kecemasan, dan mungkin sedikit rasa sakit akan selalu menjadi bagian dari kinerja tinggi. Pekerjaan, tetapi emosi negatif itu tidak bisa menjadi jiwa dari pekerjaan seseorang. Namun, itulah pengalaman kehidupan kerja bagi 19% pekerja yang secara aktif melepaskan diri.

Dari survei Gallup yang dituangkan dalam "State of the Global Workplace: 2022 Report" bahwa para pekerja global  mengalami stress sebanyak  44%, sementara di Asia Tenggara sebanyak 31%. Mereka merasa khawatir sebanyak 40% (global) dan 37% (Asia Tenggara). 

Mereka sering merasakan sakit fisik sepanjang hari sebanyak 23%, baik secara global maupun di Asia Tenggara. Dan, "Bagaimana dengan kemarahan?".  21% pekerja global sering marah, dan 20% pekerja di Asia Tenggara mengaku sering marah. (Para pekerja Asia Tenggara yang ikut disurvei berasal dari Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand, Vietnam)

Apa yang terjadi di tempat kerja yang membuat mereka sengsara?

Hampir semua pihak sepakat bahwa keseimbangan itu penting, tetapi hal ini menyiratkan pemisahan pekerjaan/kehidupan. Sangat sulit untuk membagi pekerjaan secara emosional, atau apa pun dalam hidup. 

Apabila bos Anda di kantor tidak dapat menelepon atau mengirim email kepada Anda setelah jam 5 sore, mungkin Anda belum pulih dari cacian yang dia berikanpada hari sebelumnya. Hampir tidak mungkin meninggalkan beban emosional semacam itu di tempat kerja.

Akibat stress di tempat kerja, dalam sebuah studi Gallup di Jerman, menjadi penyebab 51% pekerja berperilaku buruk dengan orang yang dicintai.

Gallup, dalam salah satu studi terbesar tentang burnout, menemukan sumber terbesar yang membuat pekerjaan menjadi buruk adalah "perlakuan tidak adil di tempat kerja." Diikuti oleh beban kerja yang tidak terkendali, komunikasi yang tidak jelas dari manajer, kurangnya dukungan manajer dan tekanan waktu yang tidak masuk akal.

Kelima penyebab tersebut memiliki satu kesamaan, yakni bos yang buruk sehingga pekerja membenci pekerjaannya. Bos yang buruk akan mengabaikan insan perusahaan, tidak menghormati mereka, dan tidak pernah mendukung mereka. Lingkungan seperti itu bisa membuat siapa saja sengsara. Pengaruh seorang manajer di tempat kerja begitu signifikan sehingga Gallup dapat memprediksi 70% perbedaan dalam keterlibatan tim hanya dengan mengenal bosnya.

Meningkatkan kehidupan di tempat kerja bukanlah ilmu roket, tetapi dunia lebih dekat untuk menjajah Mars daripada memperbaiki tempat kerja yang rusak di dunia.

Dengan menggunakan metrik lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), para kapitalis pemangku kepentingan berpikir mereka punya solusinya. Dengan ESG mereka mendorong perusahaan untuk melaporkan dampaknya terhadap segala hal mulai dari lingkungan hingga tenaga kerja mereka. Akan tetapi, menyangkut pekerja, sebagian besar laporan ESG hanya berfokus pada gaji dan demografi. Ini sangat penting, tetapi bagaimana kita tahu jika pekerja diperlakukan dengan hormat? Atau merasa diperhatikan?

Sebenarnya perbaikan bisa dilakukan dengan sederhana, yaitu memiliki pemimpin yang lebih baik di tempat kerja. Manajer perlu menjadi pendengar, pelatih, dan kolaborator yang lebih baik. 

Manajer hebat membantu rekan kerja belajar dan tumbuh, mengenali rekan kerja mereka. Manajer harus mampu melakukan pekerjaan hebat bersama, dan membuat anggota tim benar-benar merasa diperhatikan. Dalam lingkungan seperti itu, pekerja berkembang.

Lingkungan bekerja dengan memiliki pemimpin yang baik seperti di atas, 95% mengalami kesuksesan karena para pekerja diperlakukan dengan hormat sepanjang hari dan 87% melaporkan banyak tersenyum dan tertawa, dan merasa terlibat dalam pekerjaannya.

Unit bisnis dengan pekerja yang terlibat (engaged) memiliki keuntungan 23% lebih tinggi dibandingkan dengan unit bisnis dengan pekerja yang menyedihkan. 

Tim dengan pekerja yang berkembang melihat ketidakhadiran, pergantian, dan kecelakaan yang jauh lebih rendah. Mereka juga melihat loyalitas pelanggan yang lebih tinggi. Dengan demikian, intinya adalah: Kesejahteraan di tempat kerja tidak bertentangan dengan agenda siapa pun.

Sumber bacaan:

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun