Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Gen Z Mengeksperesikan Kebenaran Individu

20 Juni 2022   16:26 Diperbarui: 20 Juni 2022   16:31 4773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Karakteristik Gen Z (File by Merza Gamal)

Jauh sebelum istilah "influencer" diciptakan, kaum muda memainkan peran sosial itu dengan menciptakan dan menafsirkan tren.

Saat ini, generasi baru influencer telah hadir. Gen Z adalah anak muda yang lahir dari tahun 1995 hingga 2010, merupakan penduduk asli digital sejati. Mereka, dari masa pertumbuhan paling awal telah terpapar internet, jaringan sosial, dan sistem seluler. Kondisi tersebut telah menghasilkan generasi hiperkognitif yang sangat nyaman dengan pengumpulan dan referensi silang banyak sumber informasi dan mengintegrasikan pengalaman virtual dan offline.

Pergeseran generasi dapat memainkan peran yang lebih penting dalam mengatur perilaku daripada perbedaan sosial ekonomi saat konektivitas global melonjak. Kaum muda telah menjadi pengaruh yang kuat pada orang-orang dari segala usia dan pendapatan, serta dalam cara mereka mengkonsumsi dan berhubungan dengan merek.

Dalam sebuah penelitian McKinsey yang menyelidiki perilaku Gen Z dan pengaruhnya terhadap pola konsumsi. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk memahami bagaimana pandangan generasi baru ini dapat memengaruhi populasi yang lebih luas, serta konsumsi secara umum.

Studi McKinsey berdasarkan survei mengungkapkan empat perilaku inti Gen Z, semuanya berlabuh dalam satu elemen: pencarian kebenaran generasi ini. Gen Z menghargai ekspresi individu dan menghindari label. Mereka memobilisasi diri untuk berbagai tujuan. Mereka sangat percaya pada kemanjuran dialog untuk menyelesaikan konflik dan memperbaiki dunia. Akhirnya, mereka membuat keputusan dan berhubungan dengan institusi dengan cara yang sangat analitis dan pragmatis.

Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Gen Z adalah "True Gen." Sebaliknya, generasi sebelumnya, yakni millennium (Gen Y), terkadang disebut "generasi saya", berawal di era kemakmuran ekonomi dan berfokus pada diri sendiri. Anggotanya lebih idealis, lebih konfrontatif, dan kurang mau menerima beragam sudut pandang.

Poin kunci bagi Gen Z, bukanlah untuk mendefinisikan diri mereka hanya melalui satu stereotip, tetapi lebih kepada individu untuk bereksperimen dengan cara yang berbeda untuk menjadi diri mereka sendiri dan untuk membentuk identitas individu mereka dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, mereka dapat disebut sebagai "pengembara identitas".

Hal yang menarik adalah 76 persen Gen Z mengatakan mereka religious, namun pada saat yang sama, mereka juga merupakan generasi yang paling terbuka terhadap berbagai tema yang belum tentu selaras dengan keyakinan yang lebih luas dari agama yang mereka deklarasikan. Misalnya, 20 persen dari mereka tidak menganggap diri mereka heteroseksual secara eksklusif, dibandingkan dengan 10 persen untuk generasi lain. Enam puluh persen Gen Z berpikir bahwa pasangan sesama jenis harus dapat mengadopsi anak atau sepuluh persen lebih banyak daripada orang-orang di generasi lain.

Fluiditas gender Gen Z merupakan cerminan paling jelas dari "ID tidak terdefinisi". Gen Z selalu terhubung dan mereka terus-menerus mengevaluasi jumlah informasi dan pengaruh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagi Gen Z, diri mereka adalah tempat untuk bereksperimen, menguji, dan berubah. Tujuh dari sepuluh Gen Z mengatakan penting untuk membela penyebab yang berkaitan dengan identitas, sehingga mereka lebih tertarik daripada generasi sebelumnya dalam hak asasi manusia; dalam hal-hal yang berkaitan dengan ras dan etnis; dalam masalah lesbian, gay, biseksual, dan transgender; dan dalam feminisme.

Gen Z secara radikal inklusif atau disebut 'Communaholic', yakni menghubungkan ke kebenaran yang berbeda. Gen Z tidak membedakan antara teman yang mereka temui secara online dan teman di dunia fisik. Gen Z terus mengalir di antara komunitas yang mempromosikan tujuan mereka dengan memanfaatkan teknologi mobilisasi tingkat tinggi yang memungkinkan.

Gen Z menghargai komunitas online karena mereka bisa terhubung dengan orang-orang dari keadaan ekonomi yang berbeda serta bergerak di sekitar tujuan dan kepentingan. Enam puluh enam persen Gen Z dalam survei McKinsey percaya bahwa komunitas diciptakan oleh sebab dan minat, bukan oleh latar belakang ekonomi atau tingkat pendidikan. Persentase itu jauh di atas persentase yang sesuai untuk generasi millennial, Gen X, dan baby boomer.

Lima puluh dua persen Gen Z menganggap wajar bagi setiap individu untuk menjadi bagian dari kelompok yang berbeda (dibandingkan dengan 45 persen orang di generasi lain), dan Gen Z tidak memiliki masalah dengan berpindah antar kelompok.

Gen Z juga seorang 'Dialoger', yakni memahami kebenaran yang berbeda dan percaya akan pentingnya dialog serta menerima perbedaan pendapat dengan lembaga tempat mereka berpartisipasi dan dengan keluarga mereka sendiri. Gen Z dapat berinteraksi dengan institusi yang menolak nilai-nilai pribadi mereka tanpa meninggalkan nilai-nilai tersebut.

Gen Z lebih suka terlibat untuk mengekstraksi apa pun yang masuk akal bagi mereka. Fakta bahwa Gen Z merasa nyaman berinteraksi dengan lembaga keagamaan tradisional tanpa meninggalkan keyakinan pribadi, yang mungkin tidak diterima secara luas oleh lembaga-lembaga tersebut juga menunjukkan pragmatisme mereka.

Gen Z cenderung percaya bahwa perubahan harus datang dari dialog. 57 persen milenium, Gen X, dan baby boomer berpikir bahwa mereka harus memutuskan sistem untuk mengubah dunia, dibandingkan dengan 49 persen Gen Z. Gen Z juga lebih bersedia mengakomodasi kegagalan perusahaan. Tiga puluh sembilan persen Gen Z, misalnya, mengharapkan perusahaan menjawab keluhan pelanggan di hari yang sama; untuk tiga generasi sebelumnya, persentasenya jauh lebih tinggi---52 persen.

Keyakinan Gen Z dalam dialog menggabungkan nilai tinggi untuk identitas individu, penolakan stereotip, dan pragmatisme yang cukup tinggi. Ketiga perilaku Gen Z tersebut mempengaruhi cara mereka memandang konsumsi dan hubungan dengan merek sebagai perilaku inti keempat.

Gen Z sangat 'Realistik', yakni mengungkap kebenaran di balik semua hal, dengan sejumlah besar informasi yang mereka miliki, lebih pragmatis dan analitis tentang keputusan mereka daripada generasi sebelumnya. Enam puluh lima persen Gen Z mengatakan bahwa mereka sangat menghargai dan mengetahui apa yang terjadi di sekitar mereka serta memegang kendali. Generasi pembelajar mandiri ini juga lebih nyaman menyerap pengetahuan online daripada di lembaga pembelajaran tradisional.

Gen Z dibesarkan pada saat tekanan ekonomi global, dan merasakan akibat pandemi Covid-19 di masa pertubumbuhan mereka. Tantangan-tantangan tersebut membuat Gen Z kurang idealis dibandingkan generasi millennial. Banyak Gen Z sangat menyadari perlunya menabung untuk masa depan dan melihat stabilitas pekerjaan lebih penting daripada gaji yang tinggi. Mereka sudah menunjukkan preferensi yang tinggi untuk pekerjaan tetap daripada pekerjaan lepas atau paruh waktu, yang mungkin mengejutkan dibandingkan dengan sikap milenial.

Menurut survei, 42 persen Gen Z berusia 17 hingga 23 tahun sudah mendapatkan pekerjaan baik dalam pekerjaan penuh atau paruh waktu atau sebagai pekerja lepas. Kondisi tersebut merupakan persentase yang tinggi untuk orang-orang yang sangat muda.

Sumber bacaan:

https://www.mckinsey.com/industries/consumer-packaged-goods/our-insights/true-gen-generation-z-and-its-implications-for-companies#

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun