Selain itu, apabila kita simak tradisi di berbagai daerah sebelum era 80'an, dimana banyak daerah masih melakukan Hari Raya Puasa Enam pada tanggal 7 Syawal, menyiratkan bahwa orang-orang dahulu melakukan puasa sunnah enam langsung pada hari kedua Syawal. Baru setelah itu mereka kembali merayakannya dengan acara yang biasanya lebih meriah dibandingkan pada Hari Raya Idul Fitri.
Dahulu, di Sumatera Barat dan Riau Daratan dikenal adanya Hari Rayo Onam, di masyarakat Jawa dikenal dengan Lebaran Ketupat, masyarakat Sasak-Lombok dengan Lebaran Topat, masyarakat Madura mengenalnya sebagai Terater, dan tradisi serupa di berbagai daerah lainnya di Nusantara. Namun tradisi itu mulai pudar di berbagai daerah, karena bergesernya tradisi jamuan-jamuan sepanjang bulan Syawal yang dikenal menjadi halal bil halal untuk saling "berpesta" dengan berbagai komunitas, mulai dari silahturahim keluarga, reunian, dan bahkan terkait dengan jamuan bisnis.
Dengan demikian, mungkin kita kembali memikirkan makna Syawal sebagai bulan peningkatan (continuous improvement) setelah memperoleh kemenangan dengan melewati Ramadhan sebagai training akbar (great training) dalam mencapai derajat keimanan dan ketaqwaan, agar kita tidak terlena dalam berbagai pesta jamuan kemenangan, sehingga kita melewati puasa enam hari Syawal sebagai sarana peningkatan iman taqwa berkelanjutan di samping istiqomah dengan bacaan Al Quran  serta shalat malam kita.
Wallahua'lam bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H