Ramadhan telah berlalu, hari kemenangan pun telah dirayakan saat Idul Fitri 1 Syawal. Ramadhan adalah bulan pelatihan akbar, dan Syawal adalah bulan peningkatan iman dan taqwa yang telah kita peroleh dalam bulan Ramadhan.
Sebagai bulan peningkatan, ada PR yang dapat kita lakukan agar kita tidak terlena dalam kemenangan yang kita peroleh. PR tersebut antara lain adalah meneruskan bacaan Al Quran, menjaga shalat malam kita, dan melakukan puasa sunnah. Puasa sunnah utama di bulan Syawal adalah puasa sunnah selama enam hari.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka dia seperti puasa sepanjang tahun" [HR. Imam Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasaa-i dan Ibnu Majah].
Apabila diibaratkan dalam sebuah perusahaan, pada saat kita mencapai performa terbaik setelah melalui sekian waktu menjalani training akbar (great training), maka kita kan melakukan perayaan kemenangan dengan pesta gembira. Namun, tentu saja pesta itu tidak berketerusan sehingga kita terlena dalam kemenangan dan lupa untuk melakukan peningkatan berkelanjutan (continuous improvement).
Demikian pula dengan kemenangan yang kita peroleh sebagai hasil training akbar keimanan dan ketaqwaan kita selama Ramadhan. Kita dapat merayakannya pada Idul Fitri, dimana pada saat itu Allah mengharamkan kita untuk berpuasa, agar kita merayakan hari kemenangan kita, Dan, selanjutnya sebagai salah satu continuous improvement atas keberhasilan kita melewati training akbar Ramadhan, maka alangkah baiknya kita bersegera melaksanan ibadah sunnah puasa enam hari di bulan Syawal.
Hal yang sering memberatkan kita untuk bersegera melaksanakan puasa sunanah enam hari Syawal adalah banyaknya undangan open house, silahturahim berbagai komunitas, halal bil halal, dan berbagai undangan jamuan makan lainnya.
Sebagian orang merasa tidak menghormati undangan-undangan tersebut jika kita berpuasa pada saat menghadiri undangan tersebut.
Jika kita simak dengan cermat hadist berikut, yakni:
Rasulullah SAW bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian diundang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!" (HR. Muslim). "Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (HR. Bukhari).
Maka sesuai dengan hadist-hadist tersebut, tidak ada keharusan kita untuk membatalkan puasa sunnah saat kita menghadiri suatu jamuan, sebagaimana juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah dalam Fatawa Al-Kubra (5: 477), "Pendapat yang paling baik dalam masalah ini, jika seseorang menghadiri walimah (undangan makan) dalam keadaan ia berpuasa, jika sampai menyakiti hati yang mengundang karena enggan untuk makan, maka makan ketika itu lebih utama. Namun jika tidak sampai menyakiti hatinya, maka melanjutkan puasa lebih baik. Akan tetapi, tidaklah pantas bagi tuan rumah memaksa yang diundang untuk makan ketika ia enggan untuk makan. Karena kedua kondisi yang disebutkan tadi sama-sama boleh. Jika jadinya memaksa pada hal yang sebenarnya bukan wajib, itu merupakan bagian dari pemaksaan yang terlarang."