Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World's Most Prosperous Decade (2003), menyampaikan bahwa seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung dengan sebuah produktivitas.Â
Ketika perekonomian sedang menggunakan sumber dayanya secara maksimal, peningkatan produktivitas memungkinkan naiknya PDB, upah, dan memperbaiki standar hidup.Â
Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, semuanya akan berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya kualitas hidup masyarakat.Â
Apabila resesi yang terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya output hanya naik 1 persen sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih output, maka pekerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan berdampak kepada peningkatan pengangguran.
Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas pada masa resesi, dalam jangka pendek, bisa jadi menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi, angka pengangguran yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah pekerja.Â
Situasi dunia kerja menjadi tidak menentu yang akan berakibat tertekannya konsumsi, atau paling tidak laju pertumbuhan konsumsi akan menurun.Â
Namun, karena kapasitas produksi berlebih, kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi.Â
Akibat pertumbuhan konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara keseluruhan akan berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang dibutuhkan.
Era "Ekonomi Baru" sangat menekankan teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi, turut mengubah pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya.Â
Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan.Â
Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan.Â
Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran.Â
Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi, "pecat pegawai Anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan".
Kesetiaan usaha, baik kesetiaan dari pegawai kepada perusahaannya maupun dari perusahaan kepada pegawainya, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk.
Akibat kesetiaan perusahaan kepada pegawai menurun, tidak heran keresahan pegawai atas kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat. Kekuatan serikat buruh yang dahulu melindungi para pekerja kasar menjadi kian lemah pada era ekonomi baru.Â
Ketidakpastian kerja, bukan hanya dialami oleh pekerja kasar, tetapi juga menyebar ke pekerja kantoran karena akibat kemajuan teknologi, perusahaan melakukan perampingan dari hari ke hari. Dengan demikian, jaminan pekerjaan seumur hidup atau minimal sampai usia pensiun sudah menjadi pembahasan masa lampau.Â
Saat ini, yang harus dimiliki oleh seorang pekerja adalah "kemampuan bekerja seumur hidup" serta "belajar seumur hidup". Kedua hal tersebut yang dapat memungkinkan seorang pekerja dapat pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Dari data yang ada (Stiglitz, 2003), terlihat bahwa mereka yang lebih terdidik akan lebih mudah berpindah pekerjaan, dan hanya sedikit yang mengalami penurunan pendapatan ketika kehilangan suatu pekerjaan dan cepat mendapat pekerjaan baru kembali.
Kondisi pekerja pada era ekonomi baru, saat ini, yang sangat mengandalkan teknologi digital, mengingatkan kejadian yang sama pada abad 18-19 (El Fisgon, 2004), ketika para majikan memanfaatkan perubahan teknologi untuk mengurangi sebagian pekerja dan menurunkan gaji pekerja lainnya.Â
Revolusi industri 4.0 memungkinkan monopoli-monopoli besar menata ulang produksinya dan merestrukturisasi tenaga kerjanya pada skala global.
Seiring dengan munculnya era ekonomi baru pada tahun 1990-an, kebanyakan mahasiswa-mahasiswa terbaik memasuki fakultas-fakultas yang berkaitan dengan bisnis dan teknologi informasi.Â
Siswa-siswa unggulan tidak tertarik mengabdi pada sosial masyarakat, tetapi tertarik kepada pesona korporat dengan imbalan materi yang berlimpah. Bidang pekerjaan yang menarik adalah pekerjaan-pekerjaan yang mempertaruhkan uang yang berlimpah.Â
Akan tetapi akibat lain yang harus diterima, adalah seorang yang ahli dalam satu teknologi langsung menjadi usang begitu teknologi tersebut dilampaui oleh teknologi lainnya, sehingga pada usia 35 tahun seorang pekerja sudah masuk "kotak" jika dia belum mendapat posisi manajemen senior pada perusahaan tersebut.
Fenomena di atas dapat kita saksikan pada iklan-iklan lowongan pekerjaan saat ini. Lowongan untuk staff pemula bagi seorang lulusan perguruan tinggi (Sarjana), dibatasi pada usia 25 tahun, dan lowongan manager dibatasi pada usia 35 tahun.Â
Sehingga pekerja-pekerja yang mempunyai pendidikan tinggi standar namun belum mempunyai posisi yang "kuat" pada suatu perusahaan harus bersiap untuk masuk "kotak" atau malah kehilangan pekerjaannya karena terjadinya perampingan organisasi perusahaan jika tidak  selalu "belajar seumur hidup".
Berubahnya perekonomian juga memaksa pekerja menanggung risiko jauh lebih besar dari era ekonomi sebelumnya. Risiko yang mereka tanggung bukan hanya saat mereka bekerja tetapi juga pada saat pensiun. Para pekerja mengandalkan program dana pensiun untuk meningkatkan penghasilan mereka pada masa pensiun nanti.Â
Dalam mengelola dana pensiun, agar mendapatkan hasil yang maksimal, lembaga dana pensiun mempertaruhkan dananya pada saham di pasar modal.Â
Namun, seringkali mereka tidak sadar, bahwa  gelembung saham membuat laba menjadi tampak lebih besar dan membuat gelembung itu sendiri menjadi kian besar lagi. Dengan demikian, sebenarnya semua itu hanya sebuah fatamorgana yang tidak disadari bahwa akan dapat meletus pada suatu saat.
Anjloknya bursa saham, akan menyebabkan lembaga dana pensiun yang menempatkan dananya pada bursa saham akan langsung kekurangan dananya.Â
Kondisi ini pada akhirnya akan berakibat kepada buruk bagi pekerja yang memiliki dana pensiun tersebut, yang tadinya diinvestasikan untuk persiapan penunjang kehidupan mereka di kala sudah tidak dapat bekerja lagi.
Dari uraian dalam tulisan ini, dapat kita tangkap bahwa pada era ekonomi baru, kebanyakan pekerja tidak lagi bekerja untuk satu majikan seumur hidupnya, tetapi berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.Â
Derasnya perubahan ini akan membuat perusahaan akan jatuh bangun dan lapangan kerja akan terestrukturisasi dengan cepat.
Dengan demikian, cara berpikir tentang bentuk-bentuk tradisional mengenai "kepastian kerja" berubah menjadi  "kemampuan bekerja" yang harus dibarengi dengan "belajar seumur hidup" agar tidak cepat tersisih dan masuk kotak dalam dunia kerja.Â
Akhirnya, perlu pula dipahami bahwa pada era ekonomi baru, bagaimanapun juga posisi kaum pekerja berada dalam posisi yang relatif kalah dibandingkan majikan mereka. Hal ini, harus menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa perusahaan (majikan) tidak mengeksploitir asimetris kekuatan tersebut.Â
MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H