Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan.Â
Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran.Â
Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi, "pecat pegawai Anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan".
Kesetiaan usaha, baik kesetiaan dari pegawai kepada perusahaannya maupun dari perusahaan kepada pegawainya, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk.
Akibat kesetiaan perusahaan kepada pegawai menurun, tidak heran keresahan pegawai atas kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat. Kekuatan serikat buruh yang dahulu melindungi para pekerja kasar menjadi kian lemah pada era ekonomi baru.Â
Ketidakpastian kerja, bukan hanya dialami oleh pekerja kasar, tetapi juga menyebar ke pekerja kantoran karena akibat kemajuan teknologi, perusahaan melakukan perampingan dari hari ke hari. Dengan demikian, jaminan pekerjaan seumur hidup atau minimal sampai usia pensiun sudah menjadi pembahasan masa lampau.Â
Saat ini, yang harus dimiliki oleh seorang pekerja adalah "kemampuan bekerja seumur hidup" serta "belajar seumur hidup". Kedua hal tersebut yang dapat memungkinkan seorang pekerja dapat pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Dari data yang ada (Stiglitz, 2003), terlihat bahwa mereka yang lebih terdidik akan lebih mudah berpindah pekerjaan, dan hanya sedikit yang mengalami penurunan pendapatan ketika kehilangan suatu pekerjaan dan cepat mendapat pekerjaan baru kembali.
Kondisi pekerja pada era ekonomi baru, saat ini, yang sangat mengandalkan teknologi digital, mengingatkan kejadian yang sama pada abad 18-19 (El Fisgon, 2004), ketika para majikan memanfaatkan perubahan teknologi untuk mengurangi sebagian pekerja dan menurunkan gaji pekerja lainnya.Â
Revolusi industri 4.0 memungkinkan monopoli-monopoli besar menata ulang produksinya dan merestrukturisasi tenaga kerjanya pada skala global.