Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jelajah Nusantara: Vihara Tertua dan Masjid Unik di Kampung 10 Ulu Sungai Musi

10 April 2022   08:27 Diperbarui: 10 April 2022   08:39 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia dengan latar belakang sejarah Kerajaan Sriwijaya (Abad VI-XII) yang merupakan kerajaan Maritim terbesar pada jamannya. Letak yang strategis menjadikan Palembang sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi di jaman klasik pada wilayah Asia Tenggara.

Beberapa kawasan di tepian Sungai Musi masih menunjukkan peningalan arsitektur yang menarik. Beragam gaya arsitektur masih terlihat dengan jelas sampai saat ini. Beragamnya peninggalan arsitektur tersebut menjadikan kawasan sepanjang tepian Sungai Musi merupakan area yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya di Kawasan Ulu 10.

Kawasan 10 Ulu dahulu untuk pertama kalinya bukanlah didiami oleh penduduk asli Palembang, tetapi oleh pendatang. Penduduk pendatang yang datang, bertujuan untuk berdagang. Mereka berasal dari Arab, Persia,Cina, dan akhirnya tinggal dan menetap. Pada mulanya para pedagang ini tinggal di rumah rakit yang kemudian lambat laun akhirnya pindah ke rumah di atas tiang. Hidup berkelompok membentuk kampung dengan mempertahankan tradisi kebudayaan asal. Hal ini terlihat dari bangunan bangunan lama yang masih ada.

Image: Pada mulanya para pedagang ini tinggal di rumah rakit (by Merza Gamal)
Image: Pada mulanya para pedagang ini tinggal di rumah rakit (by Merza Gamal)

Image: Kemudian lambat laun akhirnya pindah ke rumah di atas panggung (by Merza Gamal)
Image: Kemudian lambat laun akhirnya pindah ke rumah di atas panggung (by Merza Gamal)

Pemukiman untuk etnis Tiongha sebagian besar terletak di sekitar Vihara Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong). Vihara ini lebih dikenal dengan Klenteng Dewi Kwan Im. Palembang merupakan satu dari beberapa kota di Indonesia yang memiliki akulturasi budaya lokal dengan budaya Tionghoa cukup kental.

Image: Pintu masuk perkampungan 10 Ulu dari Sungai Musi (by Merza Gamal)
Image: Pintu masuk perkampungan 10 Ulu dari Sungai Musi (by Merza Gamal)

Boleh dibilang klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) merupakan klenteng yang tertua di Palembang. Klenteng Dewi Kwan Im ini dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda, pada 1733.  Dibandingkan klenteng lainnya, klenteng Dewi Kwan Im lebih ramai didatangi. Berbagai prosesi ibadah masyarakat Tionghoa di Palembang digelar di sini.

Image: Klenteng tertua di Palembang yang didirikan tahun 1773 (by Merza Gamal)
Image: Klenteng tertua di Palembang yang didirikan tahun 1773 (by Merza Gamal)

Menurut sejarah, pembangunan klenteng kampung 10 Ulu karena di kampung tersebut terdapat makam seorang panglima Palembang keturunan Tionghoa bernama Ju Sin Kong atau biasa disebut Apek Tulong. Dia beragama Islam.

Image: Di sini terdapat makam seorang panglima Palembang keturunan Tionghoa beragama Islam (by Mera Gamal)
Image: Di sini terdapat makam seorang panglima Palembang keturunan Tionghoa beragama Islam (by Mera Gamal)

Memasuki halaman klenteng yang terletak di Jalan Perikanan, 10 Ulu, Palembang ini, disambut dengan aroma dupa (hio) wangi. Melangkah masuk ke dalam, terdapat altar dewa, mulai dari altar Dewi Maco Po atau penguasa laut (juga disebut sebagai dewi yang menguasai setan dan iblis) dan altar Dewi Kwan Im atau penolong orang yang menderita sudah tersusun secara berurut, dan berbagai altar lainnya.

Image : Salah satu tempat pembakaran dupa (by Merza Gamal)
Image : Salah satu tempat pembakaran dupa (by Merza Gamal)

Dari sekian banyak altar di klenteng tersebut, yang menarik adalah Ju Sin Kong, sang pelindung Kota Palembang yang diyakini beragama Islam juga dibuatkan altar. Ju Sin Kong menjalankan (sholat) lima waktu dan meninggal disini. Dia sangat baik kepada umat di sini. Karena itu, dibuatkan altar untuk mengingat kebaikan-kebaikannya.

Image: Beberapa Altar di Klenteng Chandra Nadi Palembang (by Merza Gamal)
Image: Beberapa Altar di Klenteng Chandra Nadi Palembang (by Merza Gamal)

Klenteng Chandara Nadi dikelola oleh Yayasan Dewi Pengasih Palembang, dan digunakan umat dari tiga agama dan kepercayaan untuk berdoa. Ketiga agama dan kepercayaan yang diakomodasi di klenteng ini adalah Buddha, Tao, dan Konghucu. 

Image:  Klenteng inidigunakan oleh umat Buddha, Tao, dan Konghucu (by Merza Gamal)
Image:  Klenteng inidigunakan oleh umat Buddha, Tao, dan Konghucu (by Merza Gamal)

Sementara untuk mengakomodasikan ibadah warga yang beragama Islam, Yayasan Dewi Pengasih Palembang mendirikan Masjid Al Ghazali yang langsung berhadapan dengan Sungai Musi dan saat ini dari Masjid tersebut terlihat dengan jelas Jembatan Ampera.

Image: Masjid Al Ghazali untuk mengakomodasi ibadah warga yang beragama Islam (by Merza Gamal)
Image: Masjid Al Ghazali untuk mengakomodasi ibadah warga yang beragama Islam (by Merza Gamal)

Biasanya di malam perayaan Imlek, warga keturunan Tionghoa memiliki tradisi menyiapkan sesajian bagi para leluhur. Namun di Klenteng Dewi Kwan Im ada hal berbeda yang dilakukan, yakni, klenteng tidak menyajikan atau tidak mengizinkan sesaji darah babi.

Image: MAsjid Al Ghazali yang berdampingan dengan Vihara Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) by Merza Gamal
Image: MAsjid Al Ghazali yang berdampingan dengan Vihara Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) by Merza Gamal

Hal tersebut dipengaruhi karena adanya kisah warga Tionghoa yang menikah dengan umat muslim berkaitan dengan sejarah Pulau Kemaro dan Kampung Kapitan. Selaras legenda putri Palembang, Siti Fatimah yang merupakan seorang muslim, menjadi istri seorang Pangeran Cina bernama Tan Bon An. Sehingga untuk menghormati leluhur mereka yang Muslim, tidak dibolehkan untuk memakai darah binatang yang diharamkan di agama Islam.

Image: untuk menghormati leluhur mereka yang Muslim, tidak dibolehkan untuk menyajikan persembahan binatang yang diharamkan di agama Islam
Image: untuk menghormati leluhur mereka yang Muslim, tidak dibolehkan untuk menyajikan persembahan binatang yang diharamkan di agama Islam

Selain itu, syarat ibadah tanpa sajian babi juga bekaitan dengan terdapatnya makam seorang Panglima Palembang keturunan Tionghoa yang beragama Islam, yakni Ju Sin Kong atau lebih dikenal dengan Apek Tulong di dalam klenteng tertua ini.

Image by Merza Gamal (7 April 2022)
Image by Merza Gamal (7 April 2022)

Kini setelah 289 tahun berdiri (sejak tahun 1733), Klenteng Chandra Nadi tetap terbuka bagi setiap umatnya untuk beribadah ditambah dengan Masjid Al Ghazali untuk yang beragama Islam. Sayang, jalan masuk ke klenteng Chandra Nadi dan Masjid Al Ghazali melalui pasar tradisional yang kumuh dan macet sehingga wisatawan akan kesulitan untuk mendatangi klenteng dan masjid tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun