Hal tersebut dipengaruhi karena adanya kisah warga Tionghoa yang menikah dengan umat muslim berkaitan dengan sejarah Pulau Kemaro dan Kampung Kapitan. Selaras legenda putri Palembang, Siti Fatimah yang merupakan seorang muslim, menjadi istri seorang Pangeran Cina bernama Tan Bon An. Sehingga untuk menghormati leluhur mereka yang Muslim, tidak dibolehkan untuk memakai darah binatang yang diharamkan di agama Islam.
Selain itu, syarat ibadah tanpa sajian babi juga bekaitan dengan terdapatnya makam seorang Panglima Palembang keturunan Tionghoa yang beragama Islam, yakni Ju Sin Kong atau lebih dikenal dengan Apek Tulong di dalam klenteng tertua ini.
Kini setelah 289 tahun berdiri (sejak tahun 1733), Klenteng Chandra Nadi tetap terbuka bagi setiap umatnya untuk beribadah ditambah dengan Masjid Al Ghazali untuk yang beragama Islam. Sayang, jalan masuk ke klenteng Chandra Nadi dan Masjid Al Ghazali melalui pasar tradisional yang kumuh dan macet sehingga wisatawan akan kesulitan untuk mendatangi klenteng dan masjid tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H