Data di atas menunjukkan dengan jelas bahwa berapa banyak orang membelanjakan atau menabung ditentukan bukan oleh tingkat daya beli mereka, melainkan oleh posisi mereka pada skala pendapatan, pendapatan mereka dalam perbandingannya dengan pendapatan orang lain.Â
Hal yang lebih mengesankan lagi tentang temuan ini adalah bahwa hal itu telah disampaikan oleh Thorstein Veblen (1899) dalam bukunya The Theory of the Leisure Class dengan istilah "conspicuous consumption" (konsumsi untuk pamer).Â
Konsumsi untuk Pamer (Conspicuous Consumption)
Veblen memerhatikan bahwa pembelian barang dan jasa suatu individu berkaitan dengan kebiasaan orang untuk memamerkan bahwa dia memiliki uang sebanyak orang lain.Â
Seseorang memiliki kepekaan kompetitif terhadap apa yang diperoleh dan dibelanjakan oleh orang di sekitarnya. Antara satu orang dengan orang lain tersebut mungkin berteman, tetapi mereka juga dipandang sebagai pesaing dalam hal status.Â
Berbagai individu lebih berbahagia dan kurang stress saat pendapatan mereka meningkat bersama peningkatan ekonomi nasional. Orang yang lebih kaya biasanya lebih berbahagia daripada orang yang berada di urutan bawah skala pendapatan.Â
Akan tetapi, mengingat psikologi manusia, euforia awal berupa peningkatan standar kehidupan itu tak lama kemudian pudar saat orang kaya baru itu menyesuaikan diri dengan status mereka yang lebih baik dalam kehidupan.Â
Tingkat yang baru itu segera dianggap sebagai tingkat "normal". Peningkatan apapun dalam kepuasan manusia hanya bersifat sementara.
Seiring perubahan gaya perekonomian, yang meningkatkan konsumsi untuk pamer, membuat profesi pekerja yang selama ini sangat jarang menjadi debitur perbankan menjadi sasaran penyaluran kredit konsumtif bank-bank.Â
Saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani.Â