"Itu terlalu berat, jangan serakah" ujar bapakku. Lalu beliau mengambil satu sak lagi, sehingga saya membawa dua sak. Begitu seterusnya hingga menembok selesai.
Mimpi tersebut saya maknai bahwa kemudahan (makna luluh : aluh) yang akan diberikan Bhatara Hyang Guru berjenjang, ada aturannya. Semasa muda hanya bernilai 1, dewasa bernilai 2, saat jadi orang tua bernilai 3. Tidak dibenarkan untuk serakah, yang terbaik adalah bersyukur dan tetap berusaha. Bahkan masa tua saya sudah ditentukan akan jadi apa, sepertinya ditakdirkan akan menjadi pendeta. Hal itu didapat dari petunjuk mimpi sebagai berikut:
Sedang berada di timur laut rumah, di kebun, sekira setengah kilo jauhnya dari rumah. Disana saya melihat dua orang gadis sedang melukat (mandi suci), dilukat oleh dua orang sulinggih, orang suci. Kedua gadis menjerit berulang saat diberi puja mantra dan dimandikan air suci, seakan tidak kuat menerima energi air suci tersebut. Mumpung ada orang suci, saya juga ingin melukat. Lalu meminta restu ingin melukat, dan saya menanyakan berapa daksina/sesari (sedekah) yang boleh saya berikan. Katanya cuma 30rb. Saya memberikan daksina itu kepada sang Sulinggih.
Saat saya mau dilukat oleh sulinggih yang lebih muda, dua gadis tadi mohon pamit, 'Pak, saya pamit dumun, mau ke kampus' ujarnya. Dugaanku, sepertinya sulinggih ini menjadi dosen di sebuah kampus. 'Nggih, Silakan!' Balasnya. Dari gerak-gerik sang Sulinggih seakan meremehkan kedua gadis tersebut, seakan dianggap tidak memiliki kemampuan spiritual. 'Beliau ini mampu gak mendeteksi energi yang saya miliki yang dianugerahi dewa' pikirku dalam hati.Â
Saya merasa dulu pernah diberi anugerah dari dewa. Tak lama berselang saya diguyur pakai air suci dalam kendi berisi bunga warna-warni. Kemudian sulinggih yang sudah tua melantunkan puja mantra pada air. Saya tak sengaja melihat 'burungnya' di balik pakaian putih transparannya karena tidak pakai celana dalam. 'Wajar anunya kelihatan karena seorang sulinggih tidak boleh pakai celana dalam' gumamku dalam hati. Lalu saya diguyur air suci untuk kedua kalinya. Ternyata air suci itu memiliki energi yang kuat hingga membuat tubuh saya terasa kaku, terutama di dada. Tiba-tiba saya sudah dipegang bapakku agar bisa bertahan melawan energi itu, tangan bapak saya ditempelkan di dada. 'Kamu dibeginikan (dilukat), agar kelak kamu bisa menjadi pendeta' ujarnya.
Saat tersadar dari mimpi dada saya terasa kaku, mungkin masih terbawa perasaan. Cukup kaget juga saat tersadar. Secara umum mimpi ini bermakna baik, namun terselip juga hal bermakna buruk yaitu melihat burung lelaki sang Sulinggih. Burung lelaki dalam bahasa Bali disebut 'Celak' sehingga dimaknai celaka, sedangkan Sulinggih simbol dewa, sehingga maknanya akan mendapat celaka dari dewa. Sedangkan melukat bermakna disucikan dari kekotoran batin. Bila digabungkan kemungkinan maknanya menjadi; bila tidak bisa menjaga kesucian diri setelah disucikan maka akan mendapat celaka dari dewa.Kata-kata terakhir bapak saya itu simbol sabda dari Bhatara Hyang Guru. Bisa jadi itu sebuah ramalan tentang masa depan saya. Entahlah. Bila dewa yang menghendaki, biarlah terjadi demikian.
Berdasarkan pada mimpi tersebut kita bisa mendapatkan hikmah bahwa sesungguhnya Tuhan menyediakan kita rejeki sesuai kapasitas kita, dan rejeki yang disediakan kita diberikan kebebasan untuk mengambilnya, berusaha memperolehnya ataupun tidak mengambilnya dengan malas-malasan. Rejeki kita bisa umpamakan seperti bermain sepak bola. Dalam permainan itu ada bola, ada orang-orang yang berebut sesuai aturan permainan, dan siapa yang bermain lebih baik maka akan menjadi pemenang. Demikian pulalah rejeki. Kita kudu berjuang untuk mendapatkannya. Terdapat cerita  menarik dalam buku Panca Tantra mengenai hal ini. Kisahnya sebagai berikut:
Di sebuah kota, hiduplah seorang tukang tenun bernama Somilaka. Kain yang dia tenun begitu indah sehingga sangat pantas dipakai oleh para raja. Namun walaupun kain tenunnya begitu bagus sekali, hasil dari penjualannya tidak begitu banyak, hanya cukup untuk biaya hidup dua minggu saja. Sebaliknya tukang-tukang tenun lain, yang menghasilkan kualitas tenun yang rendah malah menjadi sangat kaya karena hasil produksinya laku keras.
Melihat kenyataan ini, Somilaka berkata kepada isterinya. "Isteriku, cobalah perhatikan! Para penenun itu menghasilkan kain tenunan yang berkualitas rendah tapi toh mereka menjadi kaya. Sedangkan kita tetap miskin. Aku bosan hidup di tempat ini. Aku bermaksud pergi ke tempat lain dan bekerja disana."
"Suamiku tersayang," jawab isterinya, "Engkau keliru berpikir bahwa engkau akan memperoleh uang di tempat yang lain, sedangkan di sini saja engkau tak sanggup mendapatkannya. Ingatlah:
Apa yang tidak ditakdirkan, lakukan apa yang akan engkau lakukan, tidak akan pernah terjadi. Apa yang tidak ditakdirkan, walaupun muncul di tanganmu akhirnya akan pergi. Tetapi takdir apa yang sudah direncanakan, akan pasti datang untuk dilalui tanpa bantuan. Karena takdir dan perbuatan berjalan bergandengan tangan, yang satu merupakan bagian dari yang lainnya, seperti cahaya dan bayangan, seperti seekor anak sapi mencari induknya di antara seribu sapi. Jadi takdir memilih pelaku-pelakunya di antara orang yang banyak sekali. Oleh karena itu teruslah bekerja disini."
"Sayangku," jawab tukang tenun itu, "Apa yang engkau katakan adalah tidak benar, karena dikatakan:
Tiada rencana yang bisa berhasil, tanpa ketekunan dalam usaha, dan engkau tidak bisa bertepuk dengan satu tangan.
Walaupun takdir sudah menyediakan makanan, engkau harus mengulurkan tanganmu untuk mengambilnya. Makanan itu tidak akan langsung memasuki mulutmu, dan begitu pun seekor rusa tidak akan memasuki mulut singa yang sedang berbaring. Itu adalah orang-orang yang membuat usaha, yang tekun yang berhasil. Seperti dikatakan:
Lakshmi melimpahkan berkahnya kepada orang yang tekun. Dia menolak orang yang malas, yang bergantung sepenuhnya dengan nasib. Maka, minggirkanlah nasib itu dan berusahalah dengan segala kemampuanmu. Apabila engkau tetap gagal, temukan apa yang menyebabkannya.
Begitu sayangku, aku telah memutuskan untuk pergi ke tempat lain."
Kisahnya masih panjang bercerita tentang bagaimana kita menyikapi uang hasil jerih payah kita, namun cukuplah dikutipkan pesan bijaknya saja, sebagai berikut: