Suatu ketika saya melakukan dosa dan dosa itu dilakukan secara berulang. Meski menyadari perbuatan tersebut adalah dosa, akan tetapi tak kuasa untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Pada suatu malam saya mimpi singkat namun cukup mengejutkan. Dalam mimpi itu samar-samar saya berada di kebun, sekitar 300 M dari rumah bersama bapak saya. Di sisi lain saya melihat guru (bapak saya) sedang tidur-tiduran di tempat tidur di rumah namun saya bisa melihatnya, seperti melihatnya dengan indera keenam. Lalu beliau berkata dengan mimik marah, 'Dewa Hyange sesai ada di samping caine, kola ada jelek caine.. (Leluhurnya sering ada di samping kamu, tetapi ada keburukan kamu...)' ujarnya sambil menunjuk ke sekitar saya untuk memperlihatkan keberadaan Dewa Hyang (leluhur). Belum sempat beliau menyebutkan keburukan saya, saya keburu bangun.
'Berarti selama ini saya sering mimpi karena sering didekati leluhur' suara hati bergumam. Itu artinya para leluhur sering melihat perbuatan dosa. Perasaan sedih timbul dalam lubuk hati. Di sisi lain merasa sangat sulit melawan musuh dalam diri. Meski tak disebutkan keburukan saya namun saya menyadari keburukan yang dimaksud, tak perlu saya sebutkan perbuatan dosa saya itu. Makna mimpi tersebut bahwa Tuhan (Bhatara Hyang Guru, simbolnya bapak saya) tidak senang dengan perbuatan saya. Beliau memberitahu bahwa sesungguhnya leluhur saya sering berada di sekitarku. Dan juga, dari petunjuk mimpi saya sering diselamatkan leluhur dari hal buruk serta diberitahu tentang masalah-masalah yang dihadapi keluarga besar saya.
Akan tetapi semenjak mimpi dimarahi itu, kebiasaan mimpi jadi hilang, terutama setelah mimpi baju saya dibakar oleh om saya, Guru Nas nama panggilannya. Maknanya karunia dari Tuhan dihanguskan (Ane baang Bhatara Hyang Guru Nunas suba katunjel). Menyadari apa yang telah terjadi, setiap sembahyang selalu mohon ampunan dan bimbingan. Seiring perjalanan waktu, akhirnya saya kembali sering mimpi. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa perbuatan dosa akan menutupi kecerdasan kita, menutupi cahaya ilahi dalam diri sehingga kita tidak mampu berkomunikasi dengan leluhur dan Tuhan melalui mimpi. Untuk membuka  selubung cahaya ilahi dalam diri tersebut dengan mengurangi perbuatan dosa, menambah perbuatan bajik, rajin meditasi, sering berjapa dan memohon ampunan.
Selain perbuatan dosa, rasa marah juga berpengaruh besar terhadap ingat atau tidaknya mimpi. Ketika kita sering marah maka pikiran menjadi mudah kacau sehingga pikiran alam bawah sadar dan pikiran tak sadar tidak bisa terhubung dengan baik dengan pikiran sadar. Sifat marah ini akan lebih buruk lagi jika marah ditunjukan kepada mahkluk suci seperti dewa Kembar, dewa Hyang (leluhur), Sesuunan (dewata) dan juga Bhatara Hyang Guru (Tuhan). Lebih-lebih bila kita menghina-Nya, kita bisa dijerat hukum langit sehingga atma (roh) kita bisa dipenjarakan di alam lain, akibatnya kita akan mudah tertimpa musibah, mudah jatuh sakit, hidup terasa hampa, dan lain sebagainya.
Saya pernah beberapa kali merasa 'kecewa' pada leluhur maupun Bhatara Hyang Guru, merasa rugi memuja-Nya toh hidup saya penuh masalah, terutama soal asmara. Lalu besoknya mimpi buruk, kalau dimaknai 'Kalan Sesuunan' (kemarahan dewata). Anehnya juga, bila habis mengumpat leluhur meski hanya dalam hati, kebiasaan mimpi jadi berubah.Â
Biasanya mimpinya selalu jelas kemudian tidak bisa mengingat mimpi. Seringkali terbangun gara-gara habis mimpi tetapi lupa apa yang dimimpikan. Menyadari kenyataan itu, saya berusaha untuk tidak lagi merasa kecewa kepada dewa bila mengalami masalah, apalagi merasa marah. Lebih baik interospeksi diri ketimbang menyalahkan leluhur ataupun Tuhan.
Ada uraian menarik yang didapat berdasarkan petunjuk mimpi tentang hal ini. Dalam mimpi itu saya baru bangun dari mimpi: ada dua mimpi yang saya alami, tetapi lupa apa yang saya mimpikan. Lalu keluar dari kamar, ternyata di teras rumah sudah ada sepupu saya yang jadi pedasaran Ratu Sakti Hulundanu. Kemudian kami berbincang-bincang.
'Bli, saya baru habis mimpi. Tapi saya lupa mimpi apa'
'Kenapa begitu?'
'Begini, saya kemarin marah-marah dalam hati kepada dewa Hyang (leluhur), jadinya saya tidak bisa mengingat mimpi. Soalnya menurut kitab suci, sifat marah dapat menghilangkan pahala kebajikan seseorang.' Ujarku menjelaskan. Dan akhirnya saya terbangun dari mimpi. Ini ceritanya ada mimpi dalam mimpi.
Untuk memaknai mimpi tersebut dibaca secara terbalik. Kronologi mimpinya seolah-olah menasehati sepupu saya yang menjadi tapakan dewata Ratu Sakti Hulundanu. Maksud sebenarnya bahwa dewata mengajari saya bahwa marah kepada leluhur bisa membuat kita tidak bisa mengingat mimpi. Dan hal itu menjadi kenyataan, selama lima hari tidak bisa mengingat mimpi, padahal beberapa kali terbangun dari mimpi setiap malam tetapi tidak tahu mimpi apa meskipun saya sudah mohon ampunan saat sembahyang. Setelah beberapa kali mohon ampunan baru bisa mengingat mimpi kembali seperti biasanya.