Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pelajaran Pemujaan dalam Mimpi

5 Maret 2017   11:55 Diperbarui: 12 Juni 2017   09:02 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sastra Bali

Berada di halaman rumah, tinggal berdua dengan gadis yang pernah mengabaikanku  dulu waktu abg, meski ingat pernah mencintainya namun saya lupa namanya. Lalu dia menempel denganku duduk berdampingan. Saya bergairah memandang kecantikannya. Lalu mendekatkan tubuhku padanya, memeluknya mesra. Tak kubiarkan kesempatan emas lewat, saya kecup pangkal lehernya di bawah telinga. Itu rumusku kecup gadis muda agar diingat seumur hidupnya. Bahkan bisa membuatnya ketagihan.

Ada perasaan canggung akibat ulah itu, takut bila dia illfeel. Lalu saya menceramahi gadis itu tentang pemujaan di rumah. "Di pekarangan rumah, pada dasarnya ada dua jenis palinggih untuk pemujaan, yaitu dewa raksa dan kala raksa. Di tugun karang/kala raksa tak boleh nyumbah, hanya boleh ngayabang. Hanya di palinggih dewa raksalah boleh nyumbah." ujarku menceramahinya.

Tiba-tiba melihat seseorang, seakan diri sendiri menyembah di Tugun Karang, akan tetapi posisi tangan berada di depan dahi atau kening dan saya teringat tak pernah sembahyang di Tugun Karang. Tak lama kemudian, saya dan gadis itu beranjak dari tempat duduk dan hendak pergi.

Saya pun tersadar dari mimpi dan merasa kaget dengan mimpi itu. Setelah melihat kalender, mimpi tersebut bertepatan dengan Saniscara Kaliwon atau tumpek, nuju Paniron. Digali dengan tenung tanya lara, uripnya 25 dibagi 4: sisa 1. Sisa 1 artinya dewa alit. Dalam konteks mimpi di atas maka dewa alit yang dimaksud adalah dewan karang atau dewan umah, dewanya rumah.

Bagian awal, mimpi tersebut melambangkan pemalinan. Sebagaimana diketahui, mimpi mesra melambangkan pemali. Ternyata yang menjadi pemali adalah pohon bunga di luar pekarangan akarnya masuk ke tembok pagar rumah hingga pagarnya retak. Selain itu mimpi di atas erat kaitannya dengan petunjuk alam gaib agar selalu ingat sembahyang atau menghaturkan persembahan pada hari-hari sakral. Meski dalam mimpi menceramahi orang lain namun maksud sebenarnya menasehati diri sendiri agar ingat sembahyang di palinggih tersebut.

Semenjak dua bulan dilinggihkan kembali (pemugaran) Tugun Karang, saya tak pernah sembahyang disana, termasuk pada saat hari sakral. Bapak saya yang rutin mempersembahkan canang sari sebagai persembahan harian, sedangkan pada Kajeng Kaliwon Wudan mempersembahkan caru segehan manca dan pelengkapnya. Sedangkan saya biasanya hanya sembahyang di Kamulan. Di rumah orang Bali apabila tidak terdapat Kamulan, biasanya hanya didirikan palinggih ke surya (tergolong palinggih Dewa Raksa). Sedangkan pelinggih Tugun Karang tergolong palinggih Kala Raksa.

Saya pernah membaca ceramah seorang Sulinggih. Katanya tidak boleh nyumbah di Tugun Karang. Namun entah kenapa dalam mimpi seakan dibolehkan ‘nyumbah’ hanya saja posisi tangan di atas hidungatau berada di kening, tak seperti pemujaan kepada dewa dimana posisi tangan di atas kepala. Menurut hemat saya cara penerapannya yaitu apabila menghaturkan segehan atau canang sari di Tugun Karang maka yang dilakukan 'ngayabang', sedangkan bila mau bepergian jauh, mepamit, maka nyumbah tetapi posisi tangan di kening.

Beberapa bulan kemudian, saya membaca lontar Sunari Tiga yang menjelaskan aturan nyumbah, ternyata begini aturannya:

Iti tingkahing pangebaktian :
 1. Yan sira ngebakti ring wong urip, ayua sira saluwiring irung.
 2. Yan sira anembah wong wus pejah, ayua sira anembah ring siwa duara, ring biyoma siwa ungguania.
 3. Yan sira nembah, arca, candi, pajenengan, pada betara sinuwun, ika wenang sira nembah ring siwa duara.

Bunyi lontar tersebut dapat dimaknai bahwa apabila menghormati atau menyembah orang yang masih hidup, hendaklah mencakupkan tangan tidak sampai di atas hidung. Jadi seperti dalam mengucapkan salam panganjali. Bilamana memuliakan atau menyembah orang yang telah tiada, seperti dewa Hyang (leluhur), maka posisi cakupan telapak tangan ada di dahi atau kening, jangan diletakan di ubun-ubun. Sedangkan dalam pemujaan untuk dewa-dewi (sesuunan), baik dalam perwujudaannya arca, candi, pajenengan ataupun memuja nama-Nya hendaklah cakupan telapak tangan di atas ubun-ubun atau Siwa Dwara. Bisa juga diangkat setinggi-tingginya sebagaimana disebutkan dalam kitab Siva Purana. Perbedaan posisi cakupan telapak tangan saat melakukan persembahyangan ini ketika sembah ketiga dalam kramaning sembah, dimana pada pemujaan ini kita menyembah yang diagungkan sedang dihaturkan pujawali.

Dalam literatur Veda, secara sederhana terdapat tiga cara dalam mengagungkan atau memuliakan yang patut dipuja yaitu dengan terlentang (menyembah dengan rebah terlentang, rebah seperti tombak diletakan di lantai), bersujud (menyembah dengan meletakan dahi di tanah atau lantai kuil, mirip umat muslim), dan dengan mencakupkan telapak tangan atau nyumbah. Di nusantara hanya Nyumbah yang dipraktekan.

Perlu juga diketahui, apabila dekat pekarangan atau perbatasan rumah terdapat tempat keramat biasanya dibangun palinggih padma capa atau Indra belaka. Di palinggih ini seseorang tak boleh nyumbah, hanya ngayabang. Di pekarangan keramat, seberapa besarpun caru dilaksanakan maka akan sia-sia; wajib hukumnya mendirikan Padma Capa atau sering disebut padma endep untuk Sanghyang Indra Belaka.

Tiga hari setelah tumpek, kembali saya mimpi berkaitan dengan pemujaan, bertepatan dengan hari sakral bulan mati, tilem. Kisah mimpinya sebagai berikut:
 Di sebuah taman istana, saya dan guru (bapak saya), sedang duduk. Di dalam istana saya melihat ada pertarungan duel, busananya seperti seorang raja Bali kuno. Yang menang lalu pergi. Saya merasa takut melihatnya. Kemudian saya merasa itu cuma adegan drama, hanya sandiwara layaknya film laga.

Tak lama kemudian, dari luar istana datang seorang Sulinggih (orang suci) berjenggot putih sampai menyentuh dada. Bapak saya lalu menyambutnya, 'Om Swastyastu, Ratu Bhagawan'.

'Om Swastyastu' jawab beliau sambil melirik saya. Lalu saya memberi salam hormat 'Om Swastyastu'. Beliau tersenyum.

'Oh ternyata beliau' gumamku dalam hati. Saya teringat bahwa sebelumnya pernah bertemu beliau namun lupa bertemu dimana. Orang suci tersebut diikuti dua orang wanita paruh baya, wanita itu sarati banten (tukang banten). Tak lama kemudian, sang sulinggih masuk ke gryanya (rumahnya). Sedangkan dua wanita tersebut mengajak saya dan bapakku ke tempat jamuan makan. Begitu memasuki tempat jamuan makan wanita itu mencari makanan yang tidak ada daging babi, begitu pula saya tak diijinkan mengambil daging babi.

Lalu kami duduk, wanita itu duduk di sebelah kiri saya, lalu menceramahi saya. 'Bila pasangan suami istri sembahyang (mempersembahkan yadnya), yang perempuan mengundang dewa, yang laki-laki mempersembahkan atau memutuskan (mengakhiri). Itulah sebabnya laki-laki bisa disebut 'putus', seperti kakek kamu. Kalau ngayabang begini caranya' ujar wanita itu sembari menggerakan telapak tangannya; digeser ke kiri, lalu naik berputar ke kanan (purwa daksina), ke arah saya. Jari-jarinya miring ke depan.

Saya akhirnya tersadar dari mimpi pada jam lima pagi, merasa heran dengan mimpi itu, sekaligus merasa bersyukur mendapat pelajaran di alam mimpi. Hal pertama yang menjadi pusat perhatian saya adalah soal larangan makan daging babi, soalnya kemarin siangnya saya mencicipi sate daging babi di tempat kundangan. Saya kira bukan berbahan daging babi, makanya dicicipi. Lalu tak jadi dimakan setelah diberitahu sate itu berbahan daging babi. Malamnya perut saya ada yang nusuk-nusuk, ditekan rasanya perih sekali.

 Seperti ada benda tajam di dalamnya. Sampai saya sempat merasa kena ilmu hitam, soalnya rasa tusukannya tak seperti biasa. Kemudian saya ke WC, namun tak mau BAB. Barulah saya sadar sempat mencicipi daging babi. Sekitar 15 menit kemudian sakit nusuk-nusuk itu hilang. 'Sepertinya saya memang tidak boleh makan daging babi, bukan sekedar karena belajar semi vegetarian.' Keluh kesahku dalam pikiran.

Larangan lain yang pernah saya dapatkan dalam mimpi yaitu tidur di bawah (lantai) yang biasa diinjak kaki. Dan juga menyentuh bagian terlarang wanita pada selangkangan dengan lidah. (Maaf) menjilati kemaluan. Pernah melakukan hal itu pada cewek perawan. Besoknya mata saya memerah, terasa panas. Dan luka di kaki jadi kambuh sakitnya. Malamnya saya mimpi turun dari lantai atas sebuah bangunan, berjalan pincang karena kaki sakit menuju tempat pembuangan sampah yang sangat jorok. 

Di dekat tempat jorok itu ada WC wanita. Saya ingin mengintip wanita yang sedang mandi. Tiba-tiba datang orang tua renta. Orang itu memanggil saya agar tidak berada di tempat jorok, lalu disuruh membantu beliau menuntun naik tangga ke lantai atas. Setelah terbangun saya langsung paham maksudnya, dan merasa menyesal melakukan hal jorok seperti itu, padahal saya sendiri pernah menulis artikel bahwa orang-orang tertentu sebaiknya menghindari menjilati kemaluan wanita bila menghendaki kehormatan di masyarakat. Karena saya merasa bukan siapa-siapa, juga karena dorongan nafsu, saya ceroboh melakukan hal tersebut, meski tak sampai melakukan hubungan seks terlarang karena gadis perawan itu tak mau.

Kembali ke topik mimpi di atas. Berdasarkan tenung tanya lara; Anggara Pon nuju Tungleh, uripnya 17, dibagi 4; sisa 1: dewa alit. Dalam konteks mimpi di atas, dewa alit yang dimaksud adalah Dewa di pondoke (dewan umah. Pon pinaka Pondok/umah). Lagi-lagi mimpi berasal dari dewa pelindung di rumah. Menurut bapak saya, orang suci simbol bhatara, hampir sama dengan orang asing atau turis simbol sesuunan (dewata).

Dengan demikian, wanita yang hadir dalam mimpi merupakan pelayan dewa yang berstana di rumah. Itulah sebabnya beliau mengajarkan tata cara sembahyang atau pemujaan di rumah. Kehadiran beliau ternyata melambangkan Bhatara atau dewa mulai berstana di Kamulan yang baru dibangun beberapa  minggu sebelumnya. Bhatara yang dimaksud Bhatara  Hyang Guru. Makna Bhatara diambil dari bertemu sulinggih yang seakan dikenal tetapi lupa pernah bertemu dimana. Kata guru diambil dari mimpi bersama bapak saya. Dalam kenyataan, bapak saya biasa dipanggil guru.

Bila dicermati dalam masyarakat Bali, sebelum pemujaan di rumah, jarang yang mengundang dewa sebelum sembahyang, langsung begitu saja sembahyang. Dalam ajaran Hindu, bahkan ada enam belas langkah dalam sekali pemujaan. 'Di dalam keseluruhan Sandhya-Vandana, ada enam belas kriya; dua belas dilakukan sebelum meditasi yang besar, dan kriya yang ketiga belas adalah meditasi besar atas Gayatri. Sesudah meditasi sisanya yang tiga harus dijalankan lagi' (Dikutip dari buku Gayatri, Semedi Mahatingi).

Menurut kitab Siva Purana, Enam belas cara pemujaan itu adalah (Avahana) pembangkitan atau mengundang beliau, mempersembahkan tempat duduk beliau (Asana), mempersembahkan air (arghya) membasuh kaki beliau (Padya), air untuk melakukan puja Acamana, minyak wangi (Abhyanga snana), mempersembahkan kain (vastra), wewangian (gandha), bunga (Puspa), lampu (Dipa), persembahan makanan (Nivedana), menyalakah lampu penerangan (Nirajana), daun betel/sirih (tambula), bersujud (namaskara) dan pembebasan mental (Visarjana). Atau ia juga boleh hanya mempersembahkan air dan makanan. Atau dalam kesehariannya sesuai dengan kemampuannya melakukan penyucian linggam dengan air (abhiseka), persembahan makanan (Naivedya), sujud (Namaskara) dan pengagungan (Tarpana). Semua ini akan mendekatkannya pada alam Shiva.

 Hal tersebut terlalu rumit, bahkan sulit diterapkan dalam pemujaan sehari-hari kita di Bali bagi masyarakat umum. Kita bisa sederhanakan seperti penerapan dalam masyarakat Hindu di Bali. Penafsiran saya terhadap penjelasan wanita dalam mimpi, saya terapkan sebagai berikut; terlebih dulu letakan persembahan di semua palinggih dilengkapi dengan dupa sambil mengundang beliau untuk hadir dalam pemujaan [isteri yang melakukan hal ini bila sudah berkeluarga]. 

Lalu melakukan pemujaan bersama; baik dengan puja tri sandya, berjapa, maupun kramaning sembah. Setelah berakhir pemujaan, lalu semua persembahan di semua palinggih diperciki tirta oleh suami, disertai doa agar beliau yang dipuja berkenan menerima persembahan kita. Setelah itu, baru kita menerima wangsuh pada-Nya. Lalu memohon ampunan atas kesalahan dalam melakukan pemujaan. Pemujaan diakhiri dengan mempersilahkan beliau kembali ke Singgasana-Nya. Barulah paramashanti.

Tata cara ngayabang persembahan (baik di palinggih untuk Kala Raksa maupun Dewa Raksa) saat memerciki tirta dengan memutar telapak tangan mengikuti arah jarum jam, yaitu berputar dari kiri ke kanan atau purwa daksina, dimana saat menempatkan telapak tangan di depan kita menghadap pada palinggih, jari-jari tangan miring ke depan. Lalu geser telapak tangan ke kiri, kemudian naik memutar. Lakukan berulang kali, misalnya tiga kali atau sampai selesai berdoa.

Selama ini, di masyarakat tidak jelas arah memutar telapak tangan, bahkan banyak pula yang telapak tangannya malah miring ke belakang seperti penari yang jemarinya lentur. Semoga dengan pelajaran di alam mimpi tersebut menjadi jelas tata cara pemujaan di rumah, terutama pada saat menghaturkan persembahan canang sari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun