Akhir-akhir ini nenek saya suka bercerita tentang masa lalunya, mulai dari kisah asmaranya dengan kakek, silsilah keluarga, kehidupan orang tua dan kakek neneknya nenek alias kompiang dan buyut saya, yang merupakan seorang peramal, dipanggil Kumpi Tenungan. Sugra pakulun  titiang ngeraosang dewa Hyang. Dumogi tan kena upadrwa dening para Hyang. Nenek juga bercerita tentang terjadinya gunung batur dan tsunami danau Batur. Agar mudah dipahami saya akan tulis secara berurutan dan menceritakan kembali apa yang diceritakan nenek dengan gaya bahasa saya sendiri.
Terjadinya Gunung Batur
Pada jaman dahulu, danau batur sangatlah luas. Entah berapa ribu tahun yang lalu, di tengah danau muncullah benda aneh yang mengapung. Ada yang mengira bangkai sapi, ada yang menduga Saab, ada pula menyatakan Druwen Sesuunan (bendak milik dewa). Â Yang menyatakan bangkai sapi hidup jatuh miskin, yang mengira Saab hidupnya madia (menengah), sedangkan yang menganggap milik dewa hidupnya kaya. Benda itu sering dilihat dari Panelokan sekarang, karena dijadikan tempat melihat benda mengapung di tengah danau, itulah sebabnya tempat itu disebut Panelokan. Nelokin: melihat-lihat. Panelokan; tempat melihat.
Bagi saya, cerita nenek ini sangat menarik. Dari cerita nenek itu bahwa terjadinya gunung Batur mirip dengan teori terjadinya gunung, salah satunya teori terbentuknya gunung berawal dari gunung api. Terbentuknya gunung Batur akibat gunung Abang dan gunung Penulisan telah menjadi gunung mati (gunung tak berapi), sehingga muncullah gunung baru; gunung berapi.
Awalnya gunung Batur tidak ada, lalu muncullah lahar di tengah danau, yang kemudian menjadi gunung kecil. Karena sering meletus, gunung ini semakin tinggi hingga sekarang mencapai ketinggian 1717 m dari permukaan laut. Sedangkan air danau semakin mengecil akibat terhirup panasnya lahar gunung api. Lama-kelamaan mulailah ada penghuni di bekas lahan air danau tersebut, dan menjadi desa. Seperti desa Kedisan, Buahan, Trunyan, Songan dan Batur.
Jejak-jejak air danau masih tampak sampai sekarang. Di tebing-tebing yang melingkar di kawasan bintang danu masih banyak terlihat garis putih bekas air. Bahkan menurut bapak saya pernah terlihat masih ada kulit uyung (mirip bekicot tetapi kecil) di salah satu tebing di kawasan bintang danu..Yang lebih menarik dari cerita nenek, kemunculan gunung Batur merupakan kehendak dewa, druwen sesuunan, sebagai kawasan sakral. Menurut hemat saya, gunung Batur sebenarnya sebuah Lingga, sedangkan danau sebagai Yoninya. Sehingga gunung dan danau Batur merupakan Lingga Yoni daripada pulau Bali. Lingga simbol Shiwa, Yoni simbol Parvati; Shiwa-Parvati, Purusa-Pradana. Kawasan bintang danu jika kita amati secara keseluruhan, bentuknya persis seperti sebuah Lingga Yoni yang  sangat besar.
Bila kita amati, arah pemujaan masyarakat Bali rata-rata mengarah ke Gunung Batur. Bali selatan sanggah kamulan berada di kaja kangin, sehingga mengarah ke gunung Batur, demikian pula Bali utara kaja kanginnya juga mengarah ke gunung Batur. Bali Selatan dan Bali Utara arah utaranya bertolak belakang, demikian pula Bali Timur dan Bali Barat. Seakan - akan arah Kaja Kangin sebagai tempat mendirikan Sanggah Kamulan arahnya terpusat ke Gunung Batur.
Kemunculan gunung Batur kemungkinan di atas seribu tahun lalu. Bila kita selidiki babad, seribu tahun lalu sudah mulai ada penghuni kawasan bintang Danu. Dimana Mpu Semeru menciptakan seorang manusia; Mpu Kamareka, yang kemudian menurunkan Catur Sanak (pasek Kayuselem, Celagi, Kayuan dan Trunyan) yang selanjutnya menghuni Kawasan Bintang Danu. Sekira 500 ratus tahun lalu, keturunannya digempur Panji Sakti dengan pasukan Goakannya. Sehingga keturunan catur sanak tercerai berai ke berbagai penjuru pulau Bali. Oleh karena itulah sampai sekarang keturunan Mpu Kamareka tersebar di berbagai daerah di Bali.
Tragedi Gejor
Ayahnya nenek bersaudara empat orang, yang pertama wafat saat truna (muda), sudah memiliki pacar. Suatu ketika, ia memetik daun ketela rambat di desa Buahan tepi danau Batur bersama pacarnya. Tiba-tiba terjadilah gempa besar, air danau naik ke permukaan, layaknya Tsunami, masyarakat lokal menyebutnya Gejor. Banyak orang tersapu air danau hingga meninggal. Termasuk saudara ayahnya nenek dan pacarnya. Namun saudara ayahnya nenek tersangkut di sebuah Sampan dan berhasil diselamatkan namun sempat lupa ingatan. Sedangkan pacarnya meninggal, mayatnya tak ditemukan. Ketika saudara ayahnya nenek kembali ingatannya, ada orang yang memberitahu bahwa pacarnya telah meninggal. Pada saat mendengar kebenaran itu beliaupun meninggal.
Selain kisah itu, ada lagi kisah yang menyedihkan sekaligus memprihatinkan. Kisah ini berasal dari keluarga lainnya. Salah seorang dari keluarga lainnya menemukan mayat sedang memeluk pohon pisang dekat pura Hulundanu Batur. Mungkin karena kuatnya memeluk pohon pisang, tidak bisa diseret air danau. Di tubuh mayat itu tertinggal cincin emas pada jari tangannya. Entah apa yang ada dalam pikiran keluarga lainnya tersebut, cincin emas itu mau diambil namun sulit. Akhirnya jari tangan mayat ini dipotong pakai golok. Cincin emasnya lalu diambil.
Orang yang menyiksa mayat sangatlah besar dosanya. Ala dahat kojarnia. Keturunan dari keluarga ini kena imbasnya, keturunannya ikut menderita; ngrebeda ke anak cucunya. Pernah beberapa tahun lalu anak cucunya mapeluas. Katanya, anak cucunya menderita akibat perbuatan leluhurnya. Sugra pakulun, geng sinampura tiang membicarakan perbuatan orang yang telah tiada.
Keturunan Peramal
Ayahnya nenek tinggallah bertiga; Kumpi Dangka Nastri, Kumpi Mangku Minta dan Kumpi Kraman Panci (Kumpi Kraman Urip). Kumpi Mangku Minta tidak memiliki keturunan (bekung) lalu mengangkat sentana (anak) dari luar bacakan yaitu I Minta, berasal dari keluarga pekak Damir, menurunkan Jero Artawan, I Supaya dan Ni Jero Suriani. Kumpi Kraman Urip menurunkan Jero Urip dan Jero Putu Lanang. Kumpi Dangka Nastri anak-anaknya 4 orang, meninggal muda tiga orang, perempuan dan laki-laki.
Tinggalah satu anak perempuan yaitu Ni Nastri yang kemudian menjadi Dangka Nastri (nenek saya). Karena tidak memiliki anak laki-laki maka Ni Nastri mencari suami dengan majujuk muani (nyentana), mengambil Dangka Otel (kakek saya) dari bacakan keluarga di Buluh. Kakek dan nenek mamindon (saudara tingkat tiga atau saudara setelah saudara sepupu). Pernikahannya terbalik benar daripada umumnya; pihak pengantin perempuan menjemput pengantin laki-laki. Dangka Otel-Dangka Nastri menurunkan 6 orang anak. 3 laki-laki, tiga perempuan. Yang laki-laki; Jero Otel, Jero Lan Distrik dan Jero Mangku Artajaya. Jero Lan Distrik (Gurun Ariani) menurunkan 4 anak. 2 perempuan, 2 laki-laki; I Nyoman Pertas dan I Ketut Merta Mupu. Hiks!
Kembali ke cerita Kumpi Dangka Nastri. Beliau adalah orang yang senang bertapa, dari pertapaannya itu mendapatkan anugerah berupa Sabuk sakti. Ketika sedang bertapa, muncullah kain kasa putih merajah memanjang, lalu berubah menjadi ular, kemudian menjadi Sabuk. Bila sabuk ini dipakai dalam keadaan marah, pohon-pohon yang dilalui hangus terbakar. Sabuk ini juga membuat beliau berwibawa dan menarik di mata wanita. Banyak gadis-gadis yang ditemui meminta untuk dinikahinya, tetapi ditolak. Setelah puluhan tahun, ada orang yang menceritakan bahwa sabuk itu terlalu kuat energinya, itulah sebabnya semua anak-anaknya meninggal muda. Dikembalikanlah Sabuk sakti tersebut. Setelah itu, kemudian melahirkan seorang anak perempuan yaitu nenek saya. Dapat dikatakan terputuslah benih-benih kesaktian dari garis keturunan di atas.
Hari kematian ayahnya nenek sudah diketahui bertahun-tahun sebelum kematian. Beliau kalah perang tanding di alam niskala (alam gaib). Beliau berjanji mau berpulang ke alam sana ketika memiliki cucu pertama, pada saat cucu pertama baru bisa jalan. Ketika hari itu telah tiba, beliau berpesan bahwa agar beliau mendapat tempat di alam sana, saat mau mengeluarkan jenazah dari rumah, hendaklah mayatnya diseret melewati 'kampiah' rumah. Demikian permintaannya. Sedih saya mendengar cerita nenek, ternyata kematian Kompyang demikian tragis. Sedihnya lagi, bapak saya juga sering berpesan seperti itu; kapan bapak saya kalah perang di alam niskala, pada saat itulah akan diketahui kematiannya. Sampai saat ini bapak saya tak pernah kalah perang tanding di alam gaib. Ternyata masih mengalir darah pertapa dari Kompyang ke bapak saya.
Melihat garis keturunan ke atas, ternyata Ayahnya nenek memiliki ibu seorang peramal, populer dipanggil Kumpi Tenungan (Kumpyang Peramal). Kata nenek, bila ada orang kehilangan, lalu meminta petunjuk ke Kumpi Tenungan, beliau biasa menyebut nama pencurinya, menyebut tempat barang disembunyikan. Akibatnya jarang terjadi pencurian. Meski perempuan beliau bahkan bisa berjalan di dasar danau, berjalan di cabang pohon enau. Beliau juga mampu meramal kejadian yang akan dialami seseorang, seperti pernikahan, perceraian dan lain sebagainya. Demikian pula bila ada memasang ilmu hitam, cetik, dsb, beliau menyebutkan orang yang berbuat jahat. Sedihnya, sebelum beliau bisa seperti itu, awalnya hidupnya agak gila.
Konon katanya ada yang meramalkan bahwa Kumpi Tenungan telah menitis (reinkarnasi) ke salah satu keturunannya. Entah benar atau tidak, belum terlihat ada anak perempuan yang memiliki kemampuan gaib di keluarga besar saya.Â
In memori 22/12/16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H