Bagi masyarakat Hindu yang fanatik buta mulai memperkenalkan istilah makanan ‘Sukla’, barangkali hal ini untuk menyaingi istilah ‘Halal’ dalam masyarakat Islam. Arya Wedakarna merupakan salah satu tokoh muda Hindu yang gencar memperkenalkan dan mendorong pemerintah untuk labelisasi makanan Sukla atau makanan yang layak bagi umat Hindu. Hal ini tentu kesannya dipaksakan.
Makna Sukla yang dikenal dalam masyarakat Bali tidaklah sama dengan Halal. Menurutku, secara sederhana Sukla dapat diartikan suci. Sukla atau śukla dalam bahasa Sansekerta diartikan sebagai pure;bersih, bright; terang, white; putih.
Sukla erat kaitannya dengan sarana persembahan, dimana bahan-bahan persembahan dikatakan sukla bilamana belum pernah terpakai atau digunakan. Sedangkan makanan yang disebut sukla adalah makanan yang akan dipersembahkan belum dimakan oleh seseorang atau pun hewan. Misalnya makanan yang berada di dapur atau di tempat nasi belum ada yang memakannya. Bilamana makanan tersebut sudah ada yang memakannya atau mengambilnya maka tidak boleh digunakan sebagai persembahan. Makanan seperti itu sudah dianggap tidak sukla atau dinyatakan sebagai carikan, makanan sisa.
Jika kita telusuri sumber-sumber sastra suci, vedic literatur, kita mengenal konsep Tri Guna; tiga sifat alam. Ke tiga sifat alam ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dan alam semesta, termasuk makanan. Dimana makanan digolongkan ke dalam tiga jenis; makan satwika (makanan bersifat kebaikan), makan rajasika (mekanan bersifat nafsu), makan tamasika (makanan bersifat kegelapan). Uraian hal tersebut dapat kita temukan dalam beberapa kitab suci, terutama dalam kitab suci Bhagavad Gita.
Sri Bhagavan bersabda;
Makanan yang paling disukai setiap orang juga terdiri dari tiga jenis, menurut tiga sifat alam material. Demikian pula korban suci, pertapaan dan kedermawanan. Sekarang dengarlah perbedaan antara hal-hal itu. (Bhagavad-gita 17.7)
Makanan yang disukai oleh orang dalam sifat kebaikan memperpanjang usia hidup, menyucikan kehidupan dan memberi kekuatan, kesehatan, kebahagiaan dan kepuasan. Makanan tersebut penuh sari, berlemak, bergizi, dan menyenangkan hati. (Bhagavad-gita 17.8)
Makanan yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, panas sekali atau menyebabkan badan menjadi panas sekali, terlalu pedas, terlalu kering dan berisi terlalu banyak bumbu yang keras sekali disukai oleh orang dalam sifat nafsu. Makanan seperti itu menyebabkan dukacita, kesengsaraan dan penyakit. (Bhagavad-gita 17.9)
Makanan yang dimasak lebih dari tiga jam sebelum dimakan, makanan yang hambar, basi dan busuk, dan makanan terdiri dari sisa makanan orang lain dan bahan-bahan haram disukai oleh orang dalam sifat kegelapan (Tamasika). (Bhagavad-gita 17.10).
Penjelasan jenis-jenis makan yang dilarang dan dibolehkan dapat kita temukan uraiannya dalam kitab Purana, Dharmasastra (seperti Manawa Dharmasastra), dan juga dalam Lontar yang ada di Bali, seperti lontar Silakrama.
Bila dicermati jenis makanan-makanan yang digolongkan ke dalam Satwika adalah makanan Vegatarian, sedangkan makanan Rajasika justru yang umum dimakan di masyarakat, seperti makanan berbahan daging, terutama hewan berkuku lima (panca naka), berbahan keras, berbahan pewarna buatan, pemanis buatan, dll. Dan makanan Tamasika juga marak di masyarakat, seperti daging babi, daging anjing, dan lain sebagainya.
Para bijak hanya melarang keras makanan tamasika dan rajasika bagi para wiku atau mereka yang bergelut di bidang kerohanian, seperti pemangku, pendeta, biksu, sulinggih. Masyarakat biasa masih ditoleransi makan makanan rajasika.
Lalu, label apa yang tepat untuk menyebut makanan yang boleh dimakan umat Hindu? sulit untuk memberi label yang tepat, terlebih ajaran Veda bukanlah ajaran saklek, dimana Veda selalu memberikan pilihan kepada masyarakat, setiap pilihan selalu ada resiko yang ditanggung.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada istilah yang tepat untuk menyebut makanan yang boleh dimakan masyarakat umum, apakah makanan Satwika ataukah Rajasika. Namun yang pasti, istilah makanan Sukla tidak ada hubungannya dengan makanan yang boleh dimakan manusia, dengan kata lain istilah makanan sukla merupakan istilah salah kaprah.
Sekedar untuk diketahui, dalam ajaran Hindu, seseorang habis memasak wajib hukumnya mempersembahkan makanan kepada leluhur, dewa, dan Tuhan. Jika memiliki hewan peliharaan, hewan lebih terdahulu diberikan makan, demikian juga bila ada tamu, tamulah terlebih dahulu makan. Setelah itu, barulah si empunya rumah menikmati makanan. Bilamana dalam sebuah keluarga tidak mempersembahkan makanan terlebih dahulu sebelum makan dinyatakan sebagai pencuri.
Jika kita cermati, biasanya dalam sebuah keluarga yang rajin mempersembahkan makanan tidak akan sampai ia hidup dalam kemiskinan; tidak bisa makan, bahkan keluarganya lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga yang tak pernah mempersembahkan makanan. Malahan yang tak pernah mempersembahkan makanan sebelum makan mereka hidup susah, jatuh dalam kemiskinan. Namun dalam mempersembahkan makanan wajib hukumnya didasari atas keiklasan.
Â
Baca juga Mencegah Maag dengan Menerapkan Ajaran Kitab Suci
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H