Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makanan Sukla, Istilah Salah Kaprah

7 Desember 2015   18:33 Diperbarui: 8 Agustus 2017   15:58 3902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para bijak hanya melarang keras makanan tamasika dan rajasika bagi para wiku atau mereka yang bergelut di bidang kerohanian, seperti pemangku, pendeta, biksu, sulinggih. Masyarakat biasa masih ditoleransi makan makanan rajasika.

Lalu, label apa yang tepat untuk menyebut makanan yang boleh dimakan umat Hindu? sulit untuk memberi label yang tepat, terlebih ajaran Veda bukanlah ajaran saklek, dimana Veda selalu memberikan pilihan kepada masyarakat, setiap pilihan selalu ada resiko yang ditanggung.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada istilah yang tepat untuk menyebut makanan yang boleh dimakan masyarakat umum, apakah makanan Satwika ataukah Rajasika. Namun yang pasti, istilah makanan Sukla tidak ada hubungannya dengan makanan yang boleh dimakan manusia, dengan kata lain istilah makanan sukla merupakan istilah salah kaprah.

Sekedar untuk diketahui, dalam ajaran Hindu, seseorang habis memasak wajib hukumnya mempersembahkan makanan kepada leluhur, dewa, dan Tuhan. Jika memiliki hewan peliharaan, hewan lebih terdahulu diberikan makan, demikian juga bila ada tamu, tamulah terlebih dahulu makan. Setelah itu, barulah si empunya rumah menikmati makanan. Bilamana dalam sebuah keluarga tidak mempersembahkan makanan terlebih dahulu sebelum makan dinyatakan sebagai pencuri.

Jika kita cermati, biasanya dalam sebuah keluarga yang rajin mempersembahkan makanan tidak akan sampai ia hidup dalam kemiskinan; tidak bisa makan, bahkan keluarganya lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga yang tak pernah mempersembahkan makanan. Malahan yang tak pernah mempersembahkan makanan sebelum makan mereka hidup susah, jatuh dalam kemiskinan. Namun dalam mempersembahkan makanan wajib hukumnya didasari atas keiklasan.

 

Baca juga Mencegah Maag dengan Menerapkan Ajaran Kitab Suci

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun