Dengan demikian, hukuman bagi seorang biseksual, yaitu seorang wanita yang sudah menikah menodai seorang gadis, atau seorang lelaki yang sudah berumah tangga menodai seorang jejaka, mendapat sanksi lebih berat daripada seorang gay atau lesbi yang menodai orang lain. Menurut hemat saya, perbuatan tersebut serupa dengan perzinahan. Dimana seseorang yang terikat dengan tali pernikahan dilarang mendapat kesenangan seksual dari pasangan yang tidak terikat dengan tali perkawainan. Bilamana seseorang melakukan hubungan badan dengan orang lain yang bukan pasangannya yang sah dinyatakan menikah lagi secara hina dengan orang lain, dinyatakan sebagai perbuatan dosa besar yang dapat menghancurkan generasi.
Dalam buku Kama Sutra perilaku homoseksual dibenarkan bagi masyarakat yang tidak memiliki kedudukan atau masyarakat yang bukan dari golongan terhormat. Dalam kitab tersebut diajarkan bagaimana cara-cara mendapat kesenangan seksual diantara mereka, diantara pelaku homoseksual, dengan kata lain seorang lesbi atau seorang gay dibenarkan melakukan kesenangan seksual dengan sesamanya, sama-sama homoseksual. Akan tetapi mereka yang memiliki martabat atau lahir dari garis keturunan terhormat sangat dilarang untuk melakukan homoseksual atau Auparistaka. “Auparistaka atau hubungan badan dengan mulut hendaknya jangan pernah dilakukan oleh seorang Brahmana terpelajar, oleh seorang menteri yang memangku jabatan dari suatu negara atau oleh pria terhormat, karena walaupun hal itu diperkenankan oleh kitab suci, tak ada gunanya melakukan hal yang tidak pada tempatnya untuk dilakukan.” (Kama Sutra, hal 132).
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa homoseksual bertentangan dengan dharma dan merupakan perbuatan dosa, mereka tidak dibenarkan menikah dengan upacara Veda. Meski demikian, bagi mereka yang mengalami kelainan seksual tersebut dibenarkan mendapatkan kesenangan seksual dengan sesamanya tanpa menodai seseorang yang bukan homoseksual.
Selain itu, masyarakat tidak boleh mengucilkan mereka, hendaknya diterima menjadi warga negara sebagai pekerja seperti pelayan, pemijat, penghibur, pembantu. Warga masyarakat hendaknya menghindari diskriminasi atau mengucilkan pelaku penyimpangan seksual seperti homoseksual. Barangkali memang takdir hidupnya seperti itu atau karena ia tidak mampu mengendalikan nafsu seksualnya dalam jangka waktu yang panjang sehingga mereka mengalami penyimpangan seksual; homoseksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H