Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Posisi 69, Gaya Seks yang Perlu Dihindari?

24 Juli 2015   19:32 Diperbarui: 4 April 2017   17:59 378446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seks Dalam Sastra Suci

Seks merupakan salah satu tujuan hidup manusia, namun bagi sebagian besar masyarakat tabu untuk membicarakannya. Barangkali akibat dari tabu-mentabukan ini menyebabkan semakin tingginya pelanggaran norma-norma yang berkaitan dengan seks seperti seks diluar perkawinan dan gaya seks yang senonoh.

Dalam ajaran Catur Purusa Artha; empat tujuan hidup manusia [Dharma, Artha, Kama, Moksa], seks merupakan tujuan hidup pada urutan ke tiga yang disebut Kama. Hal ini menyiratkan bahwa untuk mencari kepuasan seks [kama] terlebih dahulu kita harus tahu tentang dharma [aturan hidup, kewajiban, kebenaran] dan sudah memiliki kekayaan [artha].

Pengetahuan tentang seks perlu dipelajari sejak usia dini untuk menghindari pelanggaran ajaran agama akibat ketidaktahuan tentang seks. Akan tetapi pembelajaran tentang seks dikenalkan secara bertahap, menyesuaikan dengan usia.

“Yang bernama cerita sanghyang asmara perlu dipelajari dari anak-anak sampai umur tua, apabila orang tidak tahu tentang ajaran sanghyang asmara, orang itu tidak bijaksana namanya” (Lontar Resi Sembina).

Persoalan seks rupanya telah menjadi topik menarik yang menggelitik minat para sastrawan sejak zaman dahulu kala hingga sastrawan-sastrawan modern belakangan ini. Seksualitas tampaknya menjadi inspirator para sastrawan untuk menggugah rasa estetik, khususnya srenggara rasa (rasa birahi) sehingga karya sastranya menjadi lebih hidup dan menarik untuk dibaca. Banyaknya karya sastra yang mengeksplorasi seksualitas menunjukkan adanya kecenderungan bahwa masalah seksualitas telah menjadi masalah yang sangat penting dalam kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Pada zaman Hindu kuno misalnya, muncul kitab-kitab Kamasastra dan yang paling terkenal ditulis oleh Watsyayana, yaitu Kama Sutra. Di China mempunyai buku Shu Ni Jing, Hung Lou Meng dan Yin Yuan Thu yang membahas seks secara hampir sempurna (Hariwijaya, 2004: 41 dalam Nanang Sutrisno, 2010, seperti dikutip dari blog dhanuwangsa).

M. Aryana (2006:9 dalam Suwantana, 2011:13) mengatakan bahwa banyak sekali teks-teks lontar di Bali yang memuat ajaran tentang seks yang sesungguhnya bisa dijadikan acuan moral dalam perilaku seksual masyarakat. Teks tersebut seperti, Resi Sembina, Yaning Stri Sanggama, Rahasya Sanggama, Smarakridalaksana, Stri Sasana, Wadu Laksana, Rukmini Tattwa, Indrani, Pamedasmara, Usada Samaratura, Prasi Dampatilalangon, dan lain-lain.

Dalam sastra-sastra Jawa Tengahan di Jawa, lahir sastra-sastra yang membicarakan seksualitas di antaranya, Serat Nitimani, Serat Kamaweda, dan Serat Centhini. (Nanang Sutrisno, 2010, Loc.cit).

Menghisap Vagina

Sebelum berhubungan intim terdapat berbagai teknik untuk mencapai hubungan seksual yang lebih panas, pemanasan ini dalam istilah seksologi sering disebut foreplay. Pemanasan sebelum ber hah hih huh di ranjang tentu sangat diperlukan terutama oleh kaum perempuan, tujuannya untuk mengeluarkan pelumas sebelum bumi terbelah dua ditusuk pedang tak bertulang. Ada berbagai teknik pemanasan namun yang masih kontroversi adalah menghisap vagina atau menghisap kemaluan.

Kitab suci Manawa Dharmasastra memberikan batasan antara kotor dan tidak kotor pada tubuh dengan batasan pada pusar. Hal ini menyiratkan seseorang tidak dibenarkan menghisap lubang tubuh yang ada di bawah pusar. [Baca juga Haram Menelan Sperma].

Tentang tata cara foreplay terdapat uraiannya di dalam Lontar Resi Sembina. “Pada permulaan harus dipeluk bahunya, kedua kalinya baru dicium, yang ketiga digigit dan dihisap lidahnya, setelah itu sampai nomor empat barulah manancapkan ke kemaluannya” (Lontar Resi Sembina).

“Inilah badan seorang perempuan yang patut digigit dan dihisap: Bibir bagian atas, bibir bagian bawah, pipi, dagu, lidah, dan susu. Itulah yang patut digigit atau dihisap oleh orang bijaksana” (Lontar Resi Sembina).

Dari pernyataan tersebut tidak dinyatakan bahwa menghisap kemaluan bagian dari pemanasan, foreplay. Akan tetapi pemanasan dengan memegang kemaluan dibenarkan, seperti dinyatakan, “Ini yang patut dipegang, antara lain: putting susu, pusar, paha, perut, pinggang, kemaluannya, susu, bagian samping tubuh di bawah ketiak, kelepakan tangan, dan jari-jarinya” (Lontar Resi Sembina).

Bahkan juga dibenarkan memegang atau merangsang istri dengan jari tangan pada bagian dalam yang terdapat di dalam vagina, dinyatakan sebagai kenikmatan seorang wanita bila disentuh; “Itulah yang dicari, di tengah liang vagina, ada daging yang berdiri, di tengah daging itu terdapat windu namanya, ada lobang kecil (uretra), di sanalah pusat dari kenikmatan seorang perempuan” (Lontar Resi Sembina).

Dari uaraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa menghisap kemaluan atau menghisap vagina tidak dibenarkan. Kita boleh saja berpuas-puasan dalam berhubungan seks tetapi kita perlu membatasi diri dengan memperhatikan norma-norma yang ada. Bahkan seks yang berlebihan juga dilarang, dianjurkan untuk berpuasa seks dalam waktu tertentu. [Baca juga Waktu Terlarang Berhubungan Seks].

Akibat yang ditimbulkan bila melakukan foreplay dengan menghisap kemaluan akan menurunkan derajat seseorang, sama halnya dengan posisi seks 69.

Posisi 69

Terdapat berbagai variasi seks untuk mencapai kepuasaan dalam berhubungan intim. Namun yang masih kontroversi yaitu posisi 69, kadang juga disebut posisi berlawanan arah. Menurut wikipedia, 69 dalam bahasa Perancis disebut soixante-neuf, adalah posisi seksual di mana mulut dua orang terletak di dekat alat kelamin masing-masing, melakukan seks oral. Orang yang melakukan posisi ini berbentuk seperti 6 dan 9. Posisi ini dapat melibatkan kombinasi jenis kelamin apapun.

Gaya seks ini konon katanya cukup ribet tetapi menghasilkan kenikmatan yang luar biasa daripada gaya seks yang lainnya. Bagi mereka yang mengejar kepuasan dan kenikmatan duniawi semata tanpa merasa risih melakukan posisi seperti itu terutama orang-orang yang terpengaruh paham liberalisme. Berbeda dengan mereka yang masih berpegang teguh pada norma ketimuran. Posisi seks 69 masih ragu ntuk dilakukan mengingat posisi kepala seorang suami berada di bawah kemaluan istri atau sebaliknya.

Di media sosial, pernah ada yang mempertanyakan hal tersebut. Lalu bagaimana kita menyikapinya, meniru ataukah menolak untuk melakukannya?

Dalam sastra suci, sampai saat ini saya belum menemukan uraian apakah posisi seperti itu dilarang atau tidak, mengingat sumber bacaan saya terkait seks masih sangat minim. Akan tetapi kita bisa bercermin dari adat ketimuran, terutama tradisi Veda.

Dalam tradisi diajarkan bahwa seorang istri tidak boleh menempatkan bokongnya lebih tinggi daripada kepala suami. Prakteknya; seorang istri tidak boleh duduk lebih tinggi dari seorang suami. Di desa saya, seorang istri bahkan tidak dibolehkan menyentuh sembarangan kepala suaminya, begitu sebaliknya seorang suami tidak boleh sembarangan menyentuh kepala istri, terutama istri yang telah diinisiasi; upacara diksa, pawintenan. Apabila dalam keadaan tertentu harus menyentuh kepala suami atau istri harus mendapat ijin atau restu.

Bercermin daripada tradisi tersebut maka posisi seks 69 patut dihindari karena kita meletakan kepala pada bagian tubuh yang dianggap tidak suci. Tangan saja tidak boleh sembarangan menyentuh kepala apalagi kepala diletakan di bawah kemaluan?

Menurut tradisi, apabila kepala seseorang disentuh oleh sembarang orang hal ini dapat membuat harga diri seseorang menurun, dengan kata lain kehilangan harga diri. Tentu akibatnya lebih dahsyat apabila sampai kepala sering diletakan di bawah kemaluan. Orang bersangkutan sulit mendapat tempat di masyarakat, tidak begitu dihargai. Oleh karena itu, apabila masih menghendaki kehormatan di masyarakat seperti menginginkan kedudukan menjadi pemimpin sudah seharusnya menghindari hubungan seks dengan posisi 69.

---

NB: Referensi tidak dicantumkan untuk menghindari jiplak sembarangan.

Ilustrasi: Shutterstock Kompascom

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun