Tentang Penulis:
Felix Sevanov Gilbert, Ananda Tania Putri, Dina Sari, Merry Tiurma D.G, Wiji Setiyani          Â
UPN Veteran Jakarta
Kesetaraan gender selalu menjadi isu yang sering dibincangkan dalam ruang lingkup kehidupan saat ini. Pembahasan yang menuntut adanya pemenuhan kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan advokasi yang telah dilakukan oleh kaum perempuan sejak lama. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah kekerasan seksual yang telah menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia dengan mayoritas korban merupakan kaum perempuan.Â
Hal tersebut berdasarkan hasil survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang menyatakan bahwa pada akhir tahun 2020, sebanyak 3 dari 5 perempuan atau sekitar 64% perempuan pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Kekerasan seksual merupakan suatu tindak kejahatan yang dapat dilakukan kapan dan dimana saja, tidak terkecuali dalam ruang lingkup pendidikan seperti Kampus.Â
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengklasifikasikan dampak negatif yang ditimbulkan dari kekerasan seksual menjadi lima bagian, yaitu ekonomi, sosial, kesehatan mental, fisik dan perilaku. Sehingga hal tersebut menyebabkan banyak korban kekerasan seksual yang memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dikarenakan trauma yang sulit diobati.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangannya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kualitas hidup agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan sejahtera. Namun fakta sebenarnya malah berbanding terbalik. Seperti kasus seorang mahasiswi korban pelecehan seksual dari dosennya malah mendapatkan ancaman untuk membayar uang sebesar 10 miliar karena dianggap telah mencoret nama baik dosen tersebut.Â
Melihat hal tersebut, akhirnya Kemendikbud berusaha untuk menindak tegas permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan peraturan baru, yaitu Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Hal tersebut sontak menuai berbagai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat.Â
Banyak pihak yang menganggap bahwa peraturan tersebut sangat kontroversial karena benturan antara nilai religius dan liberalisme. Peraturan tersebut juga dinilai masih mengandung makna yang ambigu, seperti penyebutan tidak adanya tindakan kekerasan jika saling mengizinkan atau dengan tanda kutip melegalkan adanya perzinahan. Namun disisi lain, sejumlah aliansi atau organisasi kemahasiswaan cenderung mendukung peraturan yang dinilai mampu meminimalisir hingga meniadakan kekerasan seksual yang terjadi dalam ruang lingkup kampus.
Hubungan atau kaitan dengan Negara, masyarakat sipil dan politik identitasÂ