Sejak kecil, Insyaf sangat disayangi oleh keluarganya. Namun, Insyaf adalah anak yang sangat bandel dan sulit diatur oleh kedua orang tuanya. Dia sering memukul dan berkelahi dengan anak seumurannya. Kehidupan keluarga mereka cukup memprihatinkan karena ayahnya seorang pemabuk, penjudi, dan perokok. Ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai petani atau pekebun.
Untuk menghidupi Insyaf dan adik-adiknya, ibunya bekerja di ladang orang lain untuk mendapatkan uang tambahan. Kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya mengharuskan ibunya bekerja terus-menerus. Terkadang, ibunya harus meminjam uang pada tetangga untuk kebutuhan dan biaya sekolah Insyaf dan adik-adiknya. Ayah Insyaf sering meminta uang untuk kepuasan pribadinya. Selain itu, kedua orang tua Insyaf sering bertengkar jika ayahnya pulang dalam keadaan mabuk, dan ibunya selalu mendapatkan KDRT.
Masa-masa kecil dan remaja Insyaf dipenuhi dengan kenakalan yang mirip dengan perilaku ayahnya. Di sekolah, dia tidak melakukan kewajibannya sebagai siswa. Dia sering bermalas-malasan dan mengajak teman-temannya untuk membuat onar, merokok di dalam kelas, bolos, dan banyak perilaku lainnya yang membuat guru tidak menyukainya. Sepulang dari sekolah, dia tidak langsung pulang melainkan nongkrong dan hura-hura bersama teman-temannya. Jika mereka kehabisan uang, mereka mencuri pada malam hari, mengambil binatang dan tumbuh-tumbuhan dari kebun orang, seperti ayam, babi, pisang, kelapa, dan berbagai alat yang dapat dijual. Mereka sudah terkenal sebagai pencuri namun tidak pernah tertangkap karena melakukan aksinya saat warga sudah beristirahat.
Pada suatu malam, Insyaf dan teman-temannya ketahuan mencuri alat pertanian di sawah milik Pak Mita. Setelah mengetahuinya, Pak Mita mendatangi rumah orang tua Insyaf.
"Permisi, Bu, apakah anak ibu, Insyaf, ada di rumah?" tanya Pak Mita dengan muka kesal.
"Ya, ada apa ya, Pak Mita? Anak saya sedang tidak di rumah, Pak. Ia pergi bermain bersama teman-temannya," jawab ibu Insyaf.
"Jadi begini, Bu, anak ibu dan teman-temannya mengambil barang saya di rumah, yaitu alat untuk bersawah. Saya menemukan alat tersebut di rumah Pak Febe, dan saya telah menanyakannya. Ternyata, alat tersebut dijual oleh Insyaf dengan harga lima ratus ribu. Maka, saya langsung datang ke rumah ibu untuk memastikan apakah benar anak ibu yang mengambilnya," kata Pak Mita.
"Ya Tuhan, anakku, mengapa kehidupan hamba-Mu seperti ini? Anak yang saya besarkan dengan penuh jerih payah, bekerja sana sini untuk memenuhi kebutuhannya, membuat saya malu," ujar ibunya sambil menangis.
"Maaf, Bu, anak ibu sudah keterlaluan. Aksinya ini sudah sering kali ia lakukan dan warga pun tahu, namun tidak ada bukti kuat untuk menuntutnya. Kali ini, warga dan saya sudah muak dan ingin memberikan kasus ini kepada kuasa hukum untuk memberikan pembelajaran padanya," kata Pak Mita.
"Maaf, Pak, selama ini saya tidak mengetahui bahwa anak saya sudah sering mengambil barang yang bukan miliknya. Saya setiap harinya pergi bekerja di ladang," jawab ibu Insyaf.
Akhirnya Insyaf dihukum dengan pergi meminta maaf kepada semua warga di desanya dengan mendatangi rumah warga satu per satu sebagai bentuk penyesalan dan janji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Dia tidak dipenjarakan karena warga merasa kasihan kepada keluarganya dan ibunya.
Waktu pun berlalu, kini Insyaf telah tamat sekolah. Dia dan ayahnya seringkali bermasalah, hingga dengan nekat dia pergi merantau ke kota dengan uang yang dipinjam oleh ibunya. Perjalanan dari desa ke kota cukup lama, dan akhirnya dia sampai pada tujuannya. Di sana dia mengalami betapa susahnya hidup di tanah rantau. Dia bertemu dengan anak muda seumurannya yang mempengaruhinya kembali menjadi nakal. Dia dan teman-temannya menggunakan obat-obatan terlarang. Insyaf sering meminta uang kepada ibunya dengan alasan belum dapat pekerjaan hingga akhirnya Insyaf jatuh sakit.
"Hari ini aku tidak bisa keluar karena perutku sungguh sangat sakit, apakah salah satu dari kalian bisa meminjamkan uang untuk berobat?" kata Insyaf kepada teman-temannya.
"Maaf Insyaf, kami tidak punya uang dan kami harus meninggalkanmu, kami tidak mau kamu jadi beban bagi kami," jawab temannya.
"Apakah ini yang dinamakan teman? Selama ini saya sudah banyak berkorban untuk kalian, inikah balasan yang kalian beri?" sahut Insyaf.
"Hahaha kamu pikir kami mau berteman dengan orang sepertimu!" jawab temannya dengan nada tertawa.
"Tolong bantu aku kali ini saja, kalau kalian tidak mau meminjamkan uang padaku antar aku untuk pergi ke rumah sakit," kata Insyaf memohon.
Teman-teman Insyaf pun pergi tanpa mendengarkan permohonan pertolongan dari Insyaf. "Ya Tuhan sekarang aku harus bagaimana, teman-teman yang saya anggap keluarga tega mengkhianatiku," kata Insyaf dalam hati sambil menahan sakit.
Akhirnya Insyaf pun menelepon ibunya untuk memberi tahu bahwa ia sedang sakit dan tidak punya uang untuk berobat.
"Hallo, Bu," Insyaf menelepon ibunya.
"Hallo, Nak, ada apa?" jawab ibunya.
"Bu, Insyaf sedang sakit perut. Sungguh sangat sakit dan aku tidak punya uang untuk berobat. Teman-teman Insyaf juga menjauhiku," kata Insyaf sambil menangis.
"Astaga, Nak, ya sudah ibu akan meminjam uang. Kamu yang kuat," jawab ibunya.
Insyaf pun menangis histeris menyesal tidak pernah mendengarkan ibunya. Setelah ibunya mendapat pinjaman, ia langsung mengirimkan uang tersebut kepada Insyaf untuk biaya berobat. Insyaf pun pergi berobat, dan dokter mengatakan ia harus segera dioperasi karena mengidap penyakit usus buntu yang sudah sangat parah.
Insyaf memberitahukan ibunya tentang penyakitnya. Ibunya menangis mendengarkan kabar anaknya dan kembali meminjam uang untuk biaya operasi dan ongkos ke kota karena di sana anaknya tidak punya saudara ataupun teman untuk menjaganya. Keesokan harinya, ibunya berangkat ke rumah sakit tempat Insyaf dengan penuh tangis karena keadaan Insyaf sudah sangat parah. Setelah beberapa hari perjalanan, ibunya tiba dan melihat keadaan anaknya. Ibunya mengira anaknya sudah tidak bisa tertolong dan menangis.
"Apakah Anda ibu dari Insyaf?" tanya dokter.
"Ya, Dok, saya ibunya Insyaf," jawab ibu Insyaf.
"Baik, operasi kita mulai besok pagi jam sembilan. Jangan memberi makan ataupun minuman kepada Insyaf," kata dokter.
"Baik, Dok," jawab ibu Insyaf.
Tiba waktu operasi Insyaf, ibunya yang takut anaknya kenapa-napa hanya bisa berdoa dan terus-menerus menangis.
"Anak ibu akan kami bawa ke ruang operasi. Tetap tenang dan berdoa semoga operasinya berjalan dengan lancar," kata dokter.
Sebelumnya, ibu Insyaf telah menandatangani surat bahwa apabila operasi tidak berhasil, maka dia harus mengikhlaskan. Itulah yang membuat ibu Insyaf kepikiran akan keadaan anaknya.
Empat jam kemudian, Insyaf pun keluar dari ruang operasi. Dokter memberitahu ibu Insyaf yang sudah tertidur di kursi bahwa operasi berjalan dengan baik. Dengan penuh tangis dan rasa syukur, ibu Insyaf memeluk dokter dan mengucapkan terima kasih. Dua minggu lamanya di rumah sakit, Insyaf pun sembuh dengan dorongan ibunya. Mereka pun pulang ke kampung halaman. Penyakit yang dialami Insyaf membuatnya lebih menyayangi ibunya, namun ia tetap membenci ayahnya yang tidak berubah, selalu mabuk, berjudi, dan merokok.
Pendapatan yang hanya sedikit di kampung membuat Insyaf kembali merantau. Namun, kali ini dia diajak oleh saudara dari keluarga ayahnya untuk bekerja di kantornya. Di sana, dia juga mengalami perlakuan buruk, namun ia tetap menguatkan dirinya demi keberlangsungan hidupnya dan keluarganya. Dia berjanji akan menyekolahkan adik-adiknya agar mereka tidak mengalami nasib sepertinya.
Suatu hari, ketika Insyaf baru mendapatkan pekerjaan di kantor barunya, dia merasa sangat gugup karena harus menghadiri rapat pertama bersama bos dan rekan-rekan kerjanya. Untuk menghilangkan kegugupannya, dia memutuskan untuk minum kopi sebelum rapat dimulai. Namun, karena terlalu gugup, Insyaf tidak menyadari bahwa dia telah mengambil kopi milik bosnya yang sudah disiapkan di meja rapat.
Saat rapat dimulai, bosnya melihat ke arah cangkir kopi yang kosong di meja dan bertanya, "Siapa yang sudah minum kopi saya?" Semua orang terdiam dan saling memandang. Insyaf merasa jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha tetap tenang. Bosnya kemudian melanjutkan, "Yah, kalau memang kopi saya sudah habis, tolong buatkan saya kopi lagi. Kita mulai rapat sekarang."
Rapat berlangsung cukup lancar, meskipun Insyaf merasa sedikit canggung setiap kali bosnya memandang ke arahnya. Setelah rapat selesai, Insyaf memutuskan untuk meminta maaf kepada bosnya. Dia mendekati bosnya dan berkata, "Pak, maafkan saya. Saya tanpa sengaja minum kopi Anda tadi karena terlalu gugup."
Bosnya tertawa dan berkata, "Tidak apa-apa, Insyaf. Sepertinya kopi itu memang memberi keberanian tambahan untuk rapat tadi. Lain kali, kalau butuh kopi, jangan ragu untuk minta. Saya suka orang yang berani mengakui kesalahannya."
Perlahan namun pasti, Insyaf mulai merasa lebih nyaman di tempat kerjanya. Dia terus bekerja keras dan menunjukkan dedikasinya. Beberapa tahun kemudian, dengan perjuangan dan suka duka yang dialaminya akhirnya dia pun mendapat pekerjaan yang layak sehingga ia mampu menyekolahkan adik-adiknya dan menghidupi keluarganya.
Kehidupan Insyaf berubah drastis. Ia berhasil keluar dari lingkaran kenakalan dan menemukan makna hidup melalui kerja keras dan dukungan ibunya. Meski masih ada bayangan masa lalu yang suram, Insyaf sekarang melihat masa depan dengan lebih optimis. Ia berjanji untuk terus berusaha dan menjaga keluarganya agar tidak terjebak dalam kesulitan yang pernah ia alami.
Cerita Insyaf mengajarkan kita tentang keteguhan hati, kerja keras, dan bagaimana cinta serta dukungan keluarga dapat membawa seseorang melewati masa-masa tersulit dalam hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H