"Apakah Anda ibu dari Insyaf?" tanya dokter.
"Ya, Dok, saya ibunya Insyaf," jawab ibu Insyaf.
"Baik, operasi kita mulai besok pagi jam sembilan. Jangan memberi makan ataupun minuman kepada Insyaf," kata dokter.
"Baik, Dok," jawab ibu Insyaf.
Tiba waktu operasi Insyaf, ibunya yang takut anaknya kenapa-napa hanya bisa berdoa dan terus-menerus menangis.
"Anak ibu akan kami bawa ke ruang operasi. Tetap tenang dan berdoa semoga operasinya berjalan dengan lancar," kata dokter.
Sebelumnya, ibu Insyaf telah menandatangani surat bahwa apabila operasi tidak berhasil, maka dia harus mengikhlaskan. Itulah yang membuat ibu Insyaf kepikiran akan keadaan anaknya.
Empat jam kemudian, Insyaf pun keluar dari ruang operasi. Dokter memberitahu ibu Insyaf yang sudah tertidur di kursi bahwa operasi berjalan dengan baik. Dengan penuh tangis dan rasa syukur, ibu Insyaf memeluk dokter dan mengucapkan terima kasih. Dua minggu lamanya di rumah sakit, Insyaf pun sembuh dengan dorongan ibunya. Mereka pun pulang ke kampung halaman. Penyakit yang dialami Insyaf membuatnya lebih menyayangi ibunya, namun ia tetap membenci ayahnya yang tidak berubah, selalu mabuk, berjudi, dan merokok.
Pendapatan yang hanya sedikit di kampung membuat Insyaf kembali merantau. Namun, kali ini dia diajak oleh saudara dari keluarga ayahnya untuk bekerja di kantornya. Di sana, dia juga mengalami perlakuan buruk, namun ia tetap menguatkan dirinya demi keberlangsungan hidupnya dan keluarganya. Dia berjanji akan menyekolahkan adik-adiknya agar mereka tidak mengalami nasib sepertinya.
Suatu hari, ketika Insyaf baru mendapatkan pekerjaan di kantor barunya, dia merasa sangat gugup karena harus menghadiri rapat pertama bersama bos dan rekan-rekan kerjanya. Untuk menghilangkan kegugupannya, dia memutuskan untuk minum kopi sebelum rapat dimulai. Namun, karena terlalu gugup, Insyaf tidak menyadari bahwa dia telah mengambil kopi milik bosnya yang sudah disiapkan di meja rapat.
Saat rapat dimulai, bosnya melihat ke arah cangkir kopi yang kosong di meja dan bertanya, "Siapa yang sudah minum kopi saya?" Semua orang terdiam dan saling memandang. Insyaf merasa jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha tetap tenang. Bosnya kemudian melanjutkan, "Yah, kalau memang kopi saya sudah habis, tolong buatkan saya kopi lagi. Kita mulai rapat sekarang."
Rapat berlangsung cukup lancar, meskipun Insyaf merasa sedikit canggung setiap kali bosnya memandang ke arahnya. Setelah rapat selesai, Insyaf memutuskan untuk meminta maaf kepada bosnya. Dia mendekati bosnya dan berkata, "Pak, maafkan saya. Saya tanpa sengaja minum kopi Anda tadi karena terlalu gugup."
Bosnya tertawa dan berkata, "Tidak apa-apa, Insyaf. Sepertinya kopi itu memang memberi keberanian tambahan untuk rapat tadi. Lain kali, kalau butuh kopi, jangan ragu untuk minta. Saya suka orang yang berani mengakui kesalahannya."
Perlahan namun pasti, Insyaf mulai merasa lebih nyaman di tempat kerjanya. Dia terus bekerja keras dan menunjukkan dedikasinya. Beberapa tahun kemudian, dengan perjuangan dan suka duka yang dialaminya akhirnya dia pun mendapat pekerjaan yang layak sehingga ia mampu menyekolahkan adik-adiknya dan menghidupi keluarganya.
Kehidupan Insyaf berubah drastis. Ia berhasil keluar dari lingkaran kenakalan dan menemukan makna hidup melalui kerja keras dan dukungan ibunya. Meski masih ada bayangan masa lalu yang suram, Insyaf sekarang melihat masa depan dengan lebih optimis. Ia berjanji untuk terus berusaha dan menjaga keluarganya agar tidak terjebak dalam kesulitan yang pernah ia alami.