"Maaf, Ibu, kami tidak bisa mempertemukan Ibu dengan pelaku. Ibu harus tau pengeboman kemarin subuh itu adalah indikasi tindakan teror yang sedang mengancam bangsa ini. Ini tindak kejahatan besar dan ditangani oleh tim khusus dari Kepolisian Pusat, Ibu. Bahkan Kapolri saat ini harus memberikan jawaban kepada Bapak Presiden tentang kronologi kejadian kemarin. Update terbaru satu-satunya korban dalam insiden tersebut malah sudah meninggal dunia satu jam yang lalu. Jadi, tidak, tidak! Ibu tidak boleh bertemu dengan teroris itu!" tandas petugas berpakaian preman di ruangan Reserse di Polda.
"Teroris? Kau menyebut dia teroris?" hampir terisak terdengar suara Pertiwi.
"Tentu saja, Ibu! Sebutan apa yang pantas untuk orang yang melakukan tindakan kejahatan tapi merasa benar? Mengklaim kalau pembunuhan adalah jalan surga?" petugas itu menjawab dengan kening berkerut.
Pertiwi tidak tahan lagi. Seluruh tubuhnya tergetar oleh kepiluan yang tak tertahankan.
Petugas tersebut terkejut bukan kepalang. Dia memegangi pundak Pertiwi, takut perempuan itu ambruk.
"Ibu, kenapakah? Tenang dulu, coba jelaskan, kami tidak mengerti kenapa Ibu begini," petugas itu berusaha menenangkan Pertiwi.
"Aku Pertiwi! Aku Ibu dari Krismanto, korban dari pengeboman kemarin subuh yang kau katakan meninggal satu jam yang lalu. Dan aku juga Pertiwi, Ibu dari Bangor, pelaku pengeboman yang kau sebut teroris tadi!!" Pertiwi berteriak dan menepis tangan petugas tersebut, lalu meraung sejadi-jadinya.
Pertiwi tersungkur di lantai marmer dan meraung menepuk dadanya. Suaranya terdengar nyaring dan menusuk buat siapapun yang mendengarnya. Petugas yang ada di ruangan itu termangu, tak tau harus apa.
"Aku Ibu Merekaaaaa, Aku Ibu Merekaaaa!!!" raungan Pertiwi membelah malam yang bersiap menyambut fajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H