Pertiwi hanya bisa terduduk di lorong rumah sakit. Dia bersidekap. Air matanya mengalir, bibirnya terkatup rapat. Pertiwi menangis tanpa suara.
"Kami sudah berupaya semaksimal mungkin,Bu, mohon maaf, kami tidak dapat menyelamatkan nyawa anak Ibu," tiga dokter berseragam hijau muda berbicara dengan sangat pelan. Salah satu dari mereka menggenggam tangannya dengan penuh simpatik. Jiwa Pertiwi runtuh.
Tak akan ada lagi anaknya yang bernama Krismanto. Rasanya jantungnya terhujam beribu sembilu. Sakit dan perih sekaligus. Kehilangan anak ternyata sangat menyakitkan. Pikirannya berteriak-teriak memanggil-manggil Krismanto, seperti saat dia berteriak ketika melihat anaknya itu bermain di sungai sepulang sekolah. Berharap Krismanto berpaling dan langsung berlari mendekatinya dan menurut saat diajak pulang.
Hatinya bermohon, andai bisa Pertiwi menggantikan posisi Krismanto. Biarlah Krismanto tetap hidup, biarlah Pertiwi saja yang tiada. Ah, Tuhan, Kau mengambilnya dengan cara yang sangat menyakitkan.
Sebuah tangan memeluk Pertiwi dari belakang.
"Ibu, aku akan mengurus pemakaman Krismanto. Istirahatlah, Bu, kau sudah teramat sangat lelah dan terpukul," Juang, anak tertuanya berbisik lembut. Ya, anak sulungnya ini selalu bisa diandalkan. Sudah sejak lama dia menjadi tulang punggung keluarga kecil ini.
Pelukan Juang mengembalikan Pertiwi ke dunia nyata. Memaksa Pertiwi untuk menyingkirkan kehilangannya atas kematian Krismanto.
"Jam berapa ini?" tanyanya kepada Juang.
"Hampir tengah malam, Bu," jawab Juang.
"Kau uruskan tentang Krismanto. Aku harus ke kantor polisi!" Pertiwi bergegas berdiri, membereskan kainnya yang semrawut sambil sekedarnya menyisir rambutnya dengan kelima jarinya. Juang hanya bisa menatap langkah Pertiwi, Ibunya, dengan mata berkaca-kaca.
******
"Maaf, Ibu, kami tidak bisa mempertemukan Ibu dengan pelaku. Ibu harus tau pengeboman kemarin subuh itu adalah indikasi tindakan teror yang sedang mengancam bangsa ini. Ini tindak kejahatan besar dan ditangani oleh tim khusus dari Kepolisian Pusat, Ibu. Bahkan Kapolri saat ini harus memberikan jawaban kepada Bapak Presiden tentang kronologi kejadian kemarin. Update terbaru satu-satunya korban dalam insiden tersebut malah sudah meninggal dunia satu jam yang lalu. Jadi, tidak, tidak! Ibu tidak boleh bertemu dengan teroris itu!" tandas petugas berpakaian preman di ruangan Reserse di Polda.
"Teroris? Kau menyebut dia teroris?" hampir terisak terdengar suara Pertiwi.
"Tentu saja, Ibu! Sebutan apa yang pantas untuk orang yang melakukan tindakan kejahatan tapi merasa benar? Mengklaim kalau pembunuhan adalah jalan surga?" petugas itu menjawab dengan kening berkerut.
Pertiwi tidak tahan lagi. Seluruh tubuhnya tergetar oleh kepiluan yang tak tertahankan.
Petugas tersebut terkejut bukan kepalang. Dia memegangi pundak Pertiwi, takut perempuan itu ambruk.
"Ibu, kenapakah? Tenang dulu, coba jelaskan, kami tidak mengerti kenapa Ibu begini," petugas itu berusaha menenangkan Pertiwi.
"Aku Pertiwi! Aku Ibu dari Krismanto, korban dari pengeboman kemarin subuh yang kau katakan meninggal satu jam yang lalu. Dan aku juga Pertiwi, Ibu dari Bangor, pelaku pengeboman yang kau sebut teroris tadi!!" Pertiwi berteriak dan menepis tangan petugas tersebut, lalu meraung sejadi-jadinya.
Pertiwi tersungkur di lantai marmer dan meraung menepuk dadanya. Suaranya terdengar nyaring dan menusuk buat siapapun yang mendengarnya. Petugas yang ada di ruangan itu termangu, tak tau harus apa.
"Aku Ibu Merekaaaaa, Aku Ibu Merekaaaa!!!" raungan Pertiwi membelah malam yang bersiap menyambut fajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H