Akhirnya, setelah selesai packing, dan bersiap pulang, saya menanyakan si Ibu, berapa harga makanan kami semuanya dan dalam hati berniat untuk melebihkan pembayaran. MJ sempat mewanti-wanti, "Jangan sampai niat buat ngelebihin bayar bikin mereka jadi komersil loh ya!"
"30 ribu mba semuanya," kata Si Ibu. Sempat bingung mau bayar berapa. Akhirnya, saya memberikan lembar 50 ribuan dan menyampaikan agar Si Ibu ambil saja kembaliannya.
"Oalah, mba, jangan, saya tidak menyewakan kamar, mba sama mas nya nyaman bertamu di sini saja saya sudah senang kok," kata Si Ibu menolak.
"Oh, bukan bu, bukan sewa kamar, ini buat terima kasih kami saja, sudah dijamu kaya di rumah sendiri. Buat nambah-nambahin di dapur Ibu saja," saya tetap memaksa si Ibu untuk menerima.
Setelah ekel-ekelan sebentar akhirnya Si Ibu setuju untuk menerima kembalian uang tersebut. Kami pamit dengan Si Ibu dan Si Mbah yang langsung meninggalkan tampah biji buncisnya untuk menyambut tangan kami untuk pamit dan tak lupa mendoakan kami selamat dalam perjalanan kami.
Ah, pengalaman di sini benar-benar memanusiakanku kembali. Kota Jakarta tempatku ternyata telah membentuk persepsi bahwa semua tindakan baik dan perhatian adalah sebuah "layanan" semata yang layak diterima dengan harga yang sesuai. Jadi kalau mau mengurangi budget bisa diakali dengan menolak beberapa "layanan" sehingga tidak perlu membayar. Secara tidak sadar, kami telah menilai manusia dan perhatiannya dengan rupiah. Seperti sebaliknya, kami juga sudah mengharapkan bayaran atas setiap "layanan" yang kami berikan. Hukum timbal balik, permintaan dan penawaran, teori ekonomis yang terbolak balik di sebuah desa bernama Dusun Sawit di kaki Gunung Andong.
Pada akhirnya, sebuah perjalanan tidak melulu tentang keindahan alam, eksplorasi tempat wisata yang menarik, namun juga ternyata menggali lagi nilai-nilai asli Indonesia yang telah tergerus oleh arus modernisasi. Mengembalikan manusia pada hakikatnya sebagai makhluk sosial, tidak melulu teguh dengan keyakinan "homo homini lupus".
Satu hari nanti, jika saya kembali merasa jenuh dan muak dengan suasana modernitas yang tidak manusiawi, Desa Sawit akan menjadi pilihan berkunjung berikutnya. Bertemu lagi dengan suasana kampung yang tenang, tidak menuntut dan apa adanya.
Terima kasih, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H