Mohon tunggu...
Merkyana Nancy Sitorus
Merkyana Nancy Sitorus Mohon Tunggu... Administrasi - Pejalan Pemerhati

Pejalan dan pemerhati apapun yang menarik mata dan telinga. Menyalurkan hobby jalan melalui www.fb.com/gerakpetualang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Manusia Indonesia di Kaki Gunung Andong

11 Juli 2017   12:01 Diperbarui: 11 Juli 2017   20:57 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Andong (source : Koleksi Pribadi)

Ternyata Si Mbah mengecek keadaan Gunung Andong di belakang rumahnya, lalu kembali kepada kami dan berkata, "Cerah, hati-hati yaaa," kata si Mbah sambil mengiringi kami sampai keluar pintu dan berangkat.

Pendakian Gunung Andong ternyata sangat nyaman. Treknya jelas dan di beberapa tempat yang licin sudah dibuatkan bertangga-tangga kecil dengan batu sebagai penahan langkah. Perjalanan menuju Puncak Andong cukup singkat. Dalam waktu 2 jam, kami sudah sampai di puncak Andong, lalu sebentar membeli kopi dan teh di warung yang masing-masing hanya seharga Rp 3.000. Gunung Andong, bagian atasnya terlihat seperti pungung sapi.

Jadi bagian puncak gunung ini bisa disusuri dan sepertinya, bisa dilalui dengan cara lintas. Naik dari sisi satunya lalu turun melalui sisi lainnya. Di setiap puncak terdapat 1 warung, jadi tidak perlu khawatir soal logistik jika naik Gunung Andong pas weekend. Kami menyusuri puncak Gunung Andong sampai ke Puncak Alap-alap di bagian paling timur Gunung Andong. Sepanjang jalur, dalam gelap kami memastikan tali yang saling melintang, karena tenda-tenda pendaki keseluruhannya didirikan di jalur. Terkadang posisinya menghabiskan seluruh jalur, sehingga kami harus benar-benar melipir tepi jurang.

Pemandangan sunrise kami hari itu agak berkabut, meskipun begitu, kami mendapatkan timelapse yang memuaskan. Seperti pendakian gunung pada umumnya, kami saling bertegur-sapa dengan orang-orang disepanjang jalur pendakian dan selama di puncak gunung juga. Saling bertukar cerita dan pengalaman, dan karena kami berdua, banyak yang nanyain, "Jadi ini mas ama mbaknya pacaran atau sudah menikah?". Kami tertawa dan menjelaskan kalau kami bukan pasangan, kami itu teman yang sama-sama klik buat backpackeran dan jalan bareng. Jawaban kami cuma disambut dengan senyum dan tatapan mata ga percaya. "Ternyata masih susah ya di sini untuk menerima kalau cowok dan cewek itu bisa dekat sebagai teman ya mak?" celetuk MJ. Lalu mengalirlah diskusi kami sambil menunggui kamera mengambil timelapse.

Pertama, bapak yang mengantar kami saat pertama kali sampai di pertigaan menuju basecamp. Ternyata sampai malam berakhir pun bapak tersebut tidak menampakkan diri, dan belum ada tanda-tanda akan meminta bayaran untuk jasa yang diberikannya.

Kedua, permintaan kami yang sedikit "memaksa" disediakan kamar. Dari sudut pandang orang dusun dan adat ketimuran, sebenarnya mereka bisa saja mempertanyakan kami itu pasangan dengan hubungan apa? Tapi Si Ibu dengan tulus menyediakan kamar, dan saat dia katakan malu, itu si Ibu benar-benar malu dengan kondisi kamarnya, sementara kami entah karena alasan capek dan pengen cepat-cepat beristirahat melihat itu sebagai ketidakmengertian Si Ibu dengan permintaan kita dan menjelaskan bahwa barang-barang kita banyak dan butuh kamar yang terkunci.

Secara tidak langsung, pagi itu, kami berpikir sebenarnya Si Ibu, bahkan orang sekampung itu patut tersinggung dengan perlakuan kami, menilai tidak aman berada di desa itu. Padahal sebenarnya, ruangan terkunci pun bisa dibobol kalau memang ada yang berniat untuk mengambil barang-barang kami. Tapi tidak. Ibu tersebut malah mengusahakan kamar dan bahkan menanyakan kebutuhan kami, mulai untuk mandi, makan malam dan juga mengkhawatirkan barang-barang kami juga. Sifat positif yang sudah jarang ditemui di Jakarta.

Ketiga, Mbah, dia begitu menyita perhatian kami. Kami datang malam hari tentunya di desa yang minim hiburan malam tersebut, Si Mbah pasti sudah tidur. Tapi begitu mengetahui ada orang lain yang datang untuk menginap di rumahnya, Mbah bangun untuk menyapa dan menyambut dengan senyum lebar yang tulus. Mbah baru benar-benar tidur saat kami sudah tidur. Sepanjang kami masih kasak-kusuk keluar-masuk rumah, Mbah juga keluar masuk kamar, memastikan kami kalau-kalau butuh bantuan. Subuhnya juga, Si Mbah juga yang mengantarkan kami berangkat menuju Gunung Andong. Benar-benar seperti keluarga sendiri.

Mbah (source : Koleksi Pribadi)
Mbah (source : Koleksi Pribadi)
"Nanti kita lihat aja, mak, berapa harga makanan kita selama di sini. Tapi kalau dibilang kamar gratis, bingung juga kalau mau kasih bayar sewa kamar ya. Takutnya jadi ide baru buat mereka bahwa tempat tinggal mereka bisa dijadikan sumber pendapatan dan jadinya komersial. Alih-alih ngasih apresiasi buat semua keramahan mereka nanti malah kita merusak mindset orang-orang desa yang polos menjadi money oriented," pungkas MJ.

Timelapse selesai, kami memutuskan untuk turun. Baru berjalan beberapa langkah hujan turun disertai angin. Kami memutuskan tetap turun karena sudah terlanjur basah dan jika berhenti atau berteduh malah kedinginan. Jadi kami tetap bergerak. Tenda-tenda terlihat bergoyang-goyang menahan hempasan angin, karena memang keadaan puncak Gunung Andong adalah padang rumput. Tidak terdapat pepohonan sebagai penahan angin.

Kami basah kuyup saat sampai di desa. Sebelum ke rumah, kami memesan makanan lagi, dan seperti sebelumnya, si Ibu akan antar makanan ke rumah.

Sampai di rumah kami disambut Si Mbah, lalu kami pamit untuk bongkar-bongkar barang-barang kami yang kuyup dan menggelarnya di ruang tamu. Si Mbah mengijinkan, malah menawarkan untuk menggelar sepatu kami yang basah juga di dapur dekat tungku, manawarkan plastik untuk bungkus-bungkus peralatan yang basah, sampai menawarkan berkali-kali untuk memasakkan air agar kami mandi dengan air hangat. "Nanti sakit," kata Si Mbah, karena kami lebih memilih mandi air gunung saja, supaya tidak terlalu kedinginan setelah mandi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun