Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pertama Kali Menangani Anak Kejang Berikut Segala Dramanya

13 April 2024   10:51 Diperbarui: 13 April 2024   17:38 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aya, nama panggilan putri pertama kami yang saat ini sedang lucu-lucunya. Januari 2024 lalu, saya bersama suami memboyong Aya mengunjungi rumah kakek dan neneknya di Serdang Bedagai, Sumatera Utara naik bus selama lebih kurang 20 jam. 

Untuk pertama kalinya putri kami menempuh perjalanan jauh jalur darat di usinya yang baru menginjak 9 bulan. Di bus, ia tak banyak bertingkah paling merengek sekadarnya karena lapar, mengantuk atau sesekali bosan. 

Sesampainya di rumah nenek, Aya jadi sering rewel. Menurut saya karena kecapekan di jalan ditambah lagi belum terbiasa dengan suasana dan orang-orang baru yang ditemuinya.

Lain lagi kata orang-orang di sana, Aya jadi rewel dan terus-terusan menangis karena kami tidak membawa air juga tanah dari rumah asal. Ke depan jika akan bepergian jauh lagi, kami disarankan untuk membawa 2 barang tersebut supaya anak tidak rewel. 

Saya dan suami tidak mengiyakan pun tidak pula membantahnya, karena yang mengatakan hal tersebut para orangtua dengan pemahamannya yang masih primitif. Jadi kami juga agak malas jika sampai terjadi perdebatan. 

Beberapa hari stay di sana, Aya jatuh sakit. Awalnya hanya diare, setelah dibawa berobat bukannya membaik malah ketambahan demam. Dari pengamatan saya juga melihat giginya baru akan tumbuh dibarengi dengan gusi yang membengkak. 

Malam harinya sekitar pukul 23.00 WIB, kami berinisiatif menerapkan metode skin to skin di gendongan sang ayah untuk menurunkan panas demamnya Aya. Kami biasa menerapkan metode ini jika Aya demam karena habis imunisasi atau yang lainnya.

Belum sampai 10 menit, saya dan suami dikejutkan dengan Aya yang tiba-tiba kejang. Tubuhnya mendadak kaku lalu mata mendelik ke atas, tampak seperti kehilangan kesadaran dan kesulitan bernapas. 

Seketika saya menjadi amat sangat panik, namun tetap berusaha mengusai diri. Saya sangat khawatir dan ketakutan sampai tak kuasa menahan tangis melihat kondisi Aya yang sedang kejang. Pikiran saya sudah kacau, takut sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada buah hati kami. 

Di tengah kekalutan itu, saya masih mampu mengingat penanganan pertama yang harus dilakukan ketika anak kejang. Saya baringkan Aya di tempat yang datar, kemudian tubuhnya saya miringkan sambil terus mengelus punggung dan memanggil namanya dengan lembut dengan harapan agar ia cepat tersadar. 

Ayahnya juga tak kalah cemas di tengah situasi itu, dia sampai meminta tolong kepada orang tuanya untuk memanggilkan nakes yang rumahnya tidak jauh dari kami. Tidak ada faskes terdekat yang dapat kami kunjungi malam itu, jikapun ada lokasinya jauh dan tidak buka 24 jam. Begitulah situasi di kampung. 

Alhasil, yang kemudian bertandang malahan orang pintar atau paranormal. Mertua saya sempat beranggapan anak kami ketempelan atau sedang diganggu makhluk gaib. 

Saya menelan ludah dan menarik napas panjang. Untungnya Aya sudah sadar dari kejangnya saat orang pintar itu datang. Kejang yang dialami Aya berlangsung selama lebih kurang 5 menit. 

Untuk menghormati upaya mertua yang telah memanggilkan orang pintar tersebut, saya dan suami menurut saja mengizinkan Aya untuk diperiksa keadaannya. 

Alhamdulillah, orang pintar itu menyatakan tidak ada yang sesuatu yang mengganggu Aya. Ia kejang murni karena sakit dan demamnya yang tinggi. Meski sebenarnya saya sudah yakin tidak ada hal-hal yang mengarah ke sana.

Kami diminta untuk mengambil sedikit minyak goreng dicampur irisan bawang merah yang kemudian dibalurkan ke sekujur tubuh Aya supaya demamnya menurun. Demikian pengobatan sederhana ala orang-orang di kampung. 

Tak lama setelah sadar dari kejang, anak kami tertidur pulas. Saya dan suami bergantian menjaganya sampai pagi. Saat waktu subuh tiba, masih dengan panasnya yang tinggi Aya mengalami kejang berulang. 

Saya melakukan penanganan dengan segera sama seperti kejang sebelumnya. Kemudian kami pun bergegas membawa Aya berobat ke klinik bidan terdekat sekitar pukul 06.00 WIB. 

Ketika diperiksa, suhu tubuh Aya sudah mencapai 39C. Di klinik tersebut, Aya diberi obat dan diberi anjuran untuk sering-sering mengompres tubuhnya terutama di bagian yang terdapat lipatan. 

Kami pun pulang dengan kondisi Aya yang masih sangat lemas. Saya berharap cepat sampai rumah supaya dapat segera memberikan obat tersebut kepada Aya. Namun, di pertengahan jalan suami saya berhenti untuk membeli nasi lemak, kue lupis beserta gorengan. 

Ingin rasanya saya mengoceh panjang lebar, tetapi kondisi saya pun juga sedang lapar-laparnya sama seperti halnya suami. 

Setibanya di rumah, Aya kembali kejang saat saya tengah meminumkannya obat. Saya pun refleks menjadi panik lagi sambil melakukan penanganan seperti pada kejang sebelumnya juga. Sekitar 3 menit kemudian ia tersadar lalu saya segerakan untuk meminum obat. 

Alhamdulillah, menjelang siang panasnya sudah turun dan keadaannya semakin membaik. Kalau diingat-ingat lagi rasanya sebagai seorang ibu sangat sedih bercampur cemas melihat putri kami mengalami kejang bahkan sampai 3x berulang.

Meski sebelumnya saya sudah mempelajari bagaimana cara menangani anak yang sedang kejang, perasaan yang kacau dan langsung panik tetap tak bisa terelakkan. 

Bahkan sampai saat ini, saya masih merasa sedikit trauma jika anak sudah demam. Semoga cukup waktu itu saja kejangnya dan tidak akan pernah terulang lagi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun