Prolog: Meninjau Ugensi Pemilu
Konsepsi negara demokrasi sejatinya memperhatikan opini publik sebagai suatu instrumen ideal pembentuk ketatanegaraan. Rakyat harus bebas ber-aspirasi, berpendapat, atau beropini menyalurkan keinginannya pada wakil rakyat yang dipercayakannya. Dalam kondisi ini, tercipta supremasi opini publik sehingga represi terhadap rakyat makin menyusut, bahkan rakyat dapat memaksa kehendaknya pada perwakilannya. Sebagai perwujudan supremasi opini publik, dibentuklah suatu sistem pemilihan umum (pemilu).Â
Pemilu menjadi instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat guna membentuk pemerintahan yang absah sekaligus sebagai proses demokrasi untuk memilih pemimpin. Adapun tujuan pemilu di antaranya, sebagai wujud implementasi kedaulatan rakyat, sebagai sarana partisipasi politik masyarakat, sebagai sarana perolehan legitimasi oleh rakyat, dan sarana penggantian pemimpin secara konstitusional. Pemilu menjadi tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan tata negara yang demokratis. Namun, hingga saat ini, masih dijumpai problematika pada sistem pemilu. Hal ini mengindikasikan bahwa proses demokrasi di Indonesia melalui pemilu belum dapat terlaksana dengan baik.
Makna Sempit Dalam Regulasi Pemilu: Celah "Akal Bulus" Partai Politik
Masa menjelang pemilu merupakan masa yang krusial. Pada masa ini, partai politik (parpol) berlomba-lomba mendulang suara setinggi-tingginya melalui kampanye agar dapat menempatkan perwakilannya. Namun, sering kali metode yang digunakan justru mencemarkan proses demokrasi itu sendiri. Sejatinya, terdapat regulasi dalam Undang- Undang Pemilu yang mengatur tentang bagaimana kampanye seharusnya dilakukan. Namun, masih terdapat potensi yang mengancam terwujudnya pemilu yang adil dan berintegritas. Hal ini disebabkan adanya sejumlah peraturan kampanye yang tidak jelas atau masuk dalam wilayah abu-abu (grey area).
Grey area tersebut melancarkan para peserta pemilu dalam menyukseskan proses pemilihan dirinya dengan cara apapun. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan kampanye di luar tahapan yang telah terlampir di peraturan. Parpol secara tidak langsung dapat melakukan "kampanye" terhadap masyarakat di luar jadwal yang ditentukan dengan argumen bahwa mereka sedang mengadakan sosialisasi bukan kampanye. Jika hal ini diteruskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) seakan-akan memberi lampu hijau para peserta dalam mencuri garis start untuk berkampanye. Maka dari itu, KPU perlu menegaskan kesalahan tafsir antara kegiatan sosialisasi di luar tahapan dan kampanye pemilu itu sendiri.
Tak hanya itu, terdapat regulasi terkait Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) yang merupakan pembukuan memuat seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pasangan calon dan diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sayangnya, Pemilu 2024, KPU memutuskan untuk menghapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam peraturannya. Hal tersebut dalam berimplikasi tergoresnya transparansi dan akuntabilitas parpol dalam mengikuti pemilu karena dana kampanye makin sulit diawasi
Degradasi Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Tak hanya regulasi yang buruk terkait kampanye, Pemilu 2024 memiliki problematika lain, yakni degradasi keterwakilan perempuan di parlemen. Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik sejatinya telah diupayakan melalui rumusan kuota minimal 30% bagi perempuan untuk diajukan parpol menjadi bakal calon legislatif (bacaleg). Kebijakan afirmatif tersebut terbukti signifikan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen sejak pertama kali diberlakukan pada Pemilu 2004.Â
Meskipun demikian, berdasarkan data Pemilu 2019, representasi keterwakilan perempuan di DPR baru mencapai 20,8%. Realitas tersebut masih menyisakan jarak yang lebar dari harapan pemenuhan angka ideal keterwakilan perempuan di parlemen, yaitu sebesar 30%.Â