Mohon tunggu...
Merina Puspita Sari
Merina Puspita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Aktif

Saya Merina Puspita Sari seorang mahasiswi prodi Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Saya juga aktif mengikuti beberapa organisasi dan UKM di kampus, yakni ( Himpunan Mahasiswa, Law debate comunnity, Lembaga Pers Mahasiswa). Saya juga menjadi kontributor tulisan terkait isu-isu hukum nasional pada laman website @pinterhukum, dan Ar-rissalah. Tulisan saya terkait hukum merupakan wujud dari ketertarikan saya terhadap hukum sejak SMA, sehingga kecintaaan saya pada hukum menjadi semnagat dan motivasi untuk berkerja sebagai aparatur sipil negara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pasal-pasal Bermasalah dalam Perppu Ciptaker

9 Mei 2023   10:00 Diperbarui: 9 Mei 2023   10:04 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber| liputan6.com

Pada 21 Maret 2023, Rapat Paripurna DPR ke 19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 di kompleks parlemen. Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah disahkan. Dengan suara 285 setuju dan 95 suara menolak dari total rapat yang dihadiri 380 anggota dewan. 

Penerbitan Perppu Ciptaker: Cacat Hukum

Kewenangan Pemerintah menerbitkan sebuah Perppu sebenarnya telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Presiden diberikan kewenangan subjektif untuk menetapkan Perppu jika terdapat kegentingan memaksa. Ketentuan ini diperkuata dan diatur lebih lanjut dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. 

Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang

secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Saat ini, tidak ada urgensi yang dapat membuat Presiden mengeluarkan Perppu terkait UU Cipta Kerja. Dalam bagian penjelasan Perppu Ciptaker, tujuan diterbitkannya peraturan tersebut antara lain untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha serta meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. 

Sebaliknya, saat tahap pembahasan hingga pengesahan UU tersebut, berbagai daerah justru secara masif dan kompak menyatakan keberatannya. Melihat kondisi tersebut, unsur “kebutuhan mendesak” sama sekali tidak terpenuhi untuk menjustifikasi penerbitan Perppu ini.

UU Cipta Kerja dan berbagai peraturan terkait lainnya juga sejatinya masih berlaku hingga September 2023 sehingga tidak terjadi kekosongan hukum. Selain itu, ancaman global dan stagflasi sebagaimana disebutkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto sangat tidak relevan. Adanya guncangan ekonomi akibat situasi global bersifat kontradiktif dengan pernyataan pemerintah melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengenai amannya kondisi ekonomi Indonesia dalam menghadapi ancaman resesi 2023. 

Melalui dua pernyataan yang bertentangan tersebut, semakin nyata bahwa penerbitan Perppu ini murni merupakan upaya pemerintah dalam memuluskan langkah-langkahnya menjalankan pembangunan dan investasi demi kepentingan oligarki.

Pembahasan Perppu menuai Polemik dan Pasal Bermasalah 

Ciptaker yang tergesa-gesa berimplikasi pada kegagalan memenuhi syarat dasar partisipasi, antara lain tidak menghadirkan secara berimbang para pihak, seperti serikat pekerja atau kelompok orang yang terdampak langsung yang mendukung ataupun keberatan. Akan tetapi seperti yang kita ketahui bersama, nihilnya meaningful participation dalam pembentukan Perppu Cipta Kerja tak cuma perihal ketiadaan ruang partisipasi akibat proses legislasi kilat, melainkan juga bagaimana Perppu Ciptaker terus melaju bahkan kini resmi diketuk palu, di tengah gelombang protes besar-besaran yang dilayangkan berbagai elemen masyarakat.

Lebih lanjut, Perppu Ciptaker replika yang mereplikasi hampir seluruh substansi dari UU Cipta Kerja mempertahankan berbagai pasal bermasalah yang merugikan dan tak memihak kepada rakyat. Misalnya, mengenai perizinan berusaha, Pasal 6 Perppu Ciptaker memungkinkan pengusaha untuk berinvestasi hanya dengan Izin Usaha Berusaha (Izin Prinsip) atau izin lainnya secara elektronik dari pemerintah. Tanpa adanya persyaratan yang jelas dan ketat, investasi dijalankan berpotensi untuk dilakukan secara semena-mena dan mengganggu ketertiban umum.

Lebih lanjut, Pasal 79 Perppu Ciptaker juga menyebutkan cuti dan waktu istirahat yang wajib diberikan pengusaha hanya cuti tahunan, istirahat antara jam kerja, dan libur mingguan. Sementara itu, cuti istirahat panjang yang sebelumnya diwajibkan oleh UU Ketenagakerjaan justru menjadi pilihan perusahaan menurut Perppu ini sehingga memungkinkan berkurangnya jatah libur bagi para pekerja.

Perppu Ciptaker juga mengatur ketidakpastian upah minimum bagi pekerja. Pasal 88D mengatur klausul “indeks tertentu” yang memuluskan upah murah bagi pekerja. Bahkan, pada Pasal 88F, disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda sehingga semakin mungkin untuk merugikan para pekerja. Selain itu, dalam Perppu ini, tak ada batasan durasi yang diatur mengenai kontrak kerja.

Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa kontrak cuma bisa diperpanjang dua tahun untuk selanjutnya diangkat sebagai karyawan tetap. Hal ini, dapat berdampak pada kerentanan dan ketidakpastian keamanan kerja bagi tenaga kerja, serta memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa alasan yang jelas dan adil.

Tak hanya mengancam dan merampas hak-hak pekerja, Perppu Ciptaker pun mengandung sejumlah pasal yang berpotensi membahayakan lingkungan dan masyarakat adat. Salah satunya Pasal 25 yang memangkas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan hanya melibatkan masyarakat yang terdampak langsung, mengeksekusi elemen lain yang berkepentingan seperti pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh dalam segala keputusan AMDAL. Hal ini berpotensi mengabaikan dampak jangka panjang bagi lingkungan dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan AMDAL. 

Selain itu, terdapat pula Pasal 162 yang menetapkan sanksi pidana atau denda bagi setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan, di mana pasal ini dikhawatirkan menjadi alat kriminalisasi bagi masyarakat atau aktivis yang menolak tambang.Tidak berhenti sampai di sana, Perppu Ciptaker juga masih mempertahankan pasal ‘pemutihan’ terhadap pelanggaran izin usaha dalam Pasal 110A dan 110B, menghapus ketentuan kecukupan 30 persen luas kawasan hutan, hingga pemberian royalti 0 persen bagi perusahaan yang melakukan pengembangan atau pemanfaatan batu bara melalui Pasal 128A.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun