Mohon tunggu...
Merina Puspita Sari
Merina Puspita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Aktif

Saya Merina Puspita Sari seorang mahasiswi prodi Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Saya juga aktif mengikuti beberapa organisasi dan UKM di kampus, yakni ( Himpunan Mahasiswa, Law debate comunnity, Lembaga Pers Mahasiswa). Saya juga menjadi kontributor tulisan terkait isu-isu hukum nasional pada laman website @pinterhukum, dan Ar-rissalah. Tulisan saya terkait hukum merupakan wujud dari ketertarikan saya terhadap hukum sejak SMA, sehingga kecintaaan saya pada hukum menjadi semnagat dan motivasi untuk berkerja sebagai aparatur sipil negara.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

17 Pasal Bermasalah dalam KUHP Wajib Ditinjau Kembali!

25 Februari 2023   21:49 Diperbarui: 8 Mei 2023   09:41 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Pada dasarnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan dasar hukum pidana di Indonesia yang telah berlaku sejak tahun 1918. Mengingat bahwa KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial Belanda, terdapat berbagai ketentuan dalam KUHP yang sarat akan watak kolonial dan tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum pidana di Indonesia. Maka dari itu, hadirnya pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibuat untuk membenahi sistem hukum pidana di Indonesia.

Setelah lebih dari satu abad dinantikan, KUHP pada akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI

pada 6 Desember 2022 dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-11 dan ditetapkan pada 2 Januari sebagai Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Hukum Pidana.  Namun, realitasnya KUHP masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi manusia (HAM) warga negara serta demokrasi. Meski penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah tersebut telah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat secara masif dan konsisten, Pemerintah tidak menggubrisnya dan justru bergegas mengesahkan KUHP yang masih bermasalah.

Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang terkandung dalam KUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat. Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja.

Adapun alasan penolakan pengesahan KUHP bermasalah yakni:

 1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 KUHP)

Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” yang mana hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) KUHP dan berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Sejatinya, esensi living law adalah hukum yang senyata-nyatanya dianut atau berlaku dalam masyarakat. Dalam studi pluralisme hukum dipahami bahwa hukum negara bukan satu-satunya hukum yang memonopoli perilaku warga masyarakat.  Dalam realitas keseharian terdapat hukum adat, hukum agama, kebiasaan, atau hibridasi di antaranya, yang sama efektif keberlakuannya dalam relasi antar warga. Alih-alih menformalisasi hukum adat dalam KUHP, masi menimbulkan permasalahan selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya dan keberadaan pasal ini dalam KUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.

2. Masalah pertanggungjawaban korporasi entitas sulit dijerat (Pasal 46, 47 dan 48 KUHP)

Korporasi dalam KUHP sebagai subjek tindak pidana yang mencakup kumpulan terorganisir baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum guna mencapai tujuan mendapatkan sebuah keuntungan dengan memberikan konsekuensi korban yang begitu besar, tidak hanya individu, melainkan masyarakat dan bangsa. Sedangkan, mengacu pada Pasal 155 UU No 40/2007 ditegaskan bahwa pengurus dapat diminta pertanggungjawaban baik secara perdata maupun pidana. Namun, dalam hal pertanggungjawaban pidana tidak secara spesifik dijelaskan bagaimana cara pertanggungjawaban pengurus harus dilakukan, kecuali pertanggungjawaban keperdataan. Adapun pengaturan korporasi diluar KUHP juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pada Pasal 15. Lalu, diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 78 ayat (14). Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 1 angka (32). Serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, pada pasal 1 angka (9). Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya regulasi pengaturan korporasi diluar KUHP menjadikan pengaturan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana dan pertanggungjawabannya berbeda antara peraturan satu dengan peraturan lainnya. Tentu hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai pengaturan pidana seperti apa yang berlaku terhadap korporasi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun