Majunya perekonomian di suatu negara selain mengandalkan kebijakan dari yang berkewenangan tentunya juga harus di dukung oleh perkembangan sumber daya manusia dari negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada investasi manusia ini biasa disebut dengan pertumbuhan endogen, pertumbuhan endogen ini sangat tepat apabila diterapkan oleh negara-negara berkembang termasuk negara Indonesia yang dimana dari pertumbuhan endogen ini diharapkan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Terlebih lagi dengan memuncaknya bonus demografi di Indonesia pada tahun 2045 di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan penduduk usia tak produktif. Saat ini, ada 32% Milenial dan 33% Gen-Z dari total 226 juta jiwa masyarakat di Indonesia. Sebuah kesempatan emas yang harus dipersiakan dari sekarang.
Telah banyak upaya pemerintah dalam mewujudkan kemajuan perekonomian di Indonesia, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan sendiri merupakan investasi jangka panjang yang sangat penting dari suatu negara. Tetapi sangat disayangkan bahwa Indonesia masih kurang menerapkan tentang dasar-dasar dari pentingnya pendidikan finansial pada anak-anak muda dan millennial.
Berdasarkan data survey yang dilakukan OJK tentang pendidikan finansial pada tahun 2019 Indonesia baru menyentuh 38,03% dan 76,19% pada Indeks inklusi keuangan yang keduanya meningkat dari 29,7% dan 67,8% dari tahun 2016, singkatnya hanya sekitar 38 dari 100 orang Indonesia yang paham tentang pentingnya pendidikan finansial.
Selain itu survey OJK terhadap strata wilayah, untuk perkotaan indeks literasi keuangan menyentuh angka 41,41% dan inklusi keuangan masyarakat perkotaan sebesar 83,60%, sedangkan indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat perdesaan adalah 34,53% dan 68,49%. Hasil survei juga menunjukkan bahwa berdasarkan gender indeks literasi dan inklusi keuangan laki-laki sebesar 39,94% dan 77,24%, relatif lebih tinggi dibanding perempuan sebesar 36,13% dan 75,15%.
Beberapa hasil menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan. Sebagian besar rumah tangga berpenghasilan rendah memiliki tingkat literasi keuangan dasar yang rendah. Sementara itu, sebagian besar rumah tangga berpenghasilan tinggi memiliki tingkat literasi keuangan dasar yang tinggi, namun tidak demikian halnya dengan indeks literasi keuangan lanjutan yang tingkat literasi keuangannya berkorelasi lemah dengan tingkat pendapatan. Selain itu, hasil survei ini menunjukkan tingkat literasi keuangan tingkat lanjut yang sangat rendah dan hal ini sejalan dengan sangat terbatasnya kepemilikan responden atas produk keuangan yang kompleks tersebut.
Dengan literasi dan pendidikan finansial ini sendiri adalah untuk mengajarkan kepada setiap individu akan kesadaran untuk mengelola keuangan dan aset-aset yang mereka punya. Selain itu menurut OJK orang yang sudah melek finansial adalah mereka yang telah memiliki pengetahuan tentang lembaga keuangan, produk-produk dari keuangan, keunggulan, resiko, serta dapat mengambil keputusan yang lebih efisien dan efektif agar mensejahterakan baik secara individu maupun secara sosial.
Tidak dapat dipungkiri bahwa persentase anak muda dan millennial Indonesia yang telah melek finansial masih tergolong rendah, Riset OJK menunjukkan, kalangan milenial usia 18-25 tahun hanya memiliki tingkat literasi sebesar 32,1%, sedangkan usia 25-35 tahun memiliki tingkat literasi sebesar 33,5%. Sedangkan persentase millennial saat ini adalah 24% dari total penduduk Indonesia atau setara dengan 64 juta.
Selain itu data Riset yang dirilis oleh Alvara Research pada tahun 2017, menyatakan bahwa, tabungan adalah produk keuangan yang paling diingat oleh generasi muda kini. Akan tetapi, menurut riset IDN Research Institute pada tahun 2019, ternyata hanya 10,17% dari pendapatan yang disisihkan oleh generasi milenial dan Gen-Z sebagai tabungan, sedangkan 51,1% dihabiskan untuk kebutuhan bulanan.
Jika kita lihat dari peristiwa pandemic COVID-19 dimana menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2020 terjadi kenaikan angka penduduk miskin sejumlah 1,63 juta penduduk jika dibandingkan dengan periode September 2019. Secara persentase penduduk miskin di Indonesia pada saat pandemi melanda menjadi 9,78% meningkat 0,56% jika dibandingkan dengan September 2019.
Berdasarkan hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi Milenial dan Gen-Z Indonesia untuk lebih memperhatikan lagi cara mereka mengelola keuangan, dan juga dana darurat karena apabila terjadi suatu hal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian negara maupun global, mereka dapat mengantisipasi hali tersebut dan dapat mengurangi peningkatan jumlah penduduk miskin ketika Indonesia sedang dilanda krisis.
Kebanyakan dari Milenial dan Gen-Z sendiri memiliki dan juga terpengaruh oleh prinsip YOLO dan FOMO, dimana YOLO adalah "You Only Live Once" yang memiliki makna bahwa hidup itu hanya satu kali, sehingga memicu para Milenial dan Gen Z untuk selalu mengambil peluang yang menurut mereka menarik tanpa mempertimbangkan resikonya lebih lanjut. Sedangkan FOMO adalah "Fear Of Missing Out" yaitu membeli suatu barang atau jasa hanya dikarenakan rasa takut akan tertinggalnya suatu tren.
Juga dengan teknologi yang sudah disediakan sekarang membuat generasi milenial dan Gen-Z dapat mendapatkan sesuatu dengan lebih cepat/instant. Ini menjadi salah satu pendorong mengapa Milenial dan Gen-Z menjadi lebih konsumtif.
Hal seperti ini yang dapat menyebabkan Milenial dan Gen Z sulit membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Selain itu pemahaman yang kurang tentang pengelolaan finansial juga mengakibatkan mereka menabung pendapatan dari sisa yang dibelanjakan dibandingkan membelanjakan dari sisa setelah menabung.
Ini juga menjadi salah satu faktor dari kecilnya persentase milenial yang melakukan investasi, terlebih lagi dipasar uang. Jika kita lihat datanya statistik menunjukkan hal yang tidak terlalu menggembirakan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kelompok usia 16-30 tahun ada sekitar 64,3 juta jiwa.
Namun, berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dari kelompok tersebut yang memiliki investasi di pasar modal Indonesia, baik saham maupun reksa dana saham, hanya 1,6 juta jiwa. Jika di persentase kan jumlah dari anak muda yang melakukan investasi di pasar uang baru menyentuh dibawah angka 2,5%.
Padahal dengan mempunyai pengetahuan dan kemauan dalam berinvestasi, Milenial dan Gen-Z dapat mengurangi ketergantungan mereka terhadap gaji pokok. Karena dengan investasi yang baik dan didasari dengan pengetahuan yang cukup mereka bisa mendapatkan passive income yaitu penghasilan yang kita dapatkan bahkan ketika kita tidak sedang bekerja, yang biasanya diperoleh dari hasil aset yang kita investasikan.
Dengan kemampuan Milenial dan Gen-Z yang dianggap telah melek teknologi, Seharusnya keunggulan ini tidak hanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif akan tetapi,lebih baik jika digunakan untuk sarana dalam kemudahan berinvestasi.
Terlebih lagi dalam berinvestasi di pasar modal telah ada 123 sekuritas yang sudah terdaftar di OJK. Sebagian besar dari sekuritas yang telah terdaftar sudah memudahkan investor dengan menyediakan pelayanan online.
Pasar modal sendiri mempunyai peran yang cukup penting bagi perekonomian suatu negara, selain menjadi sarana untuk masyarakat dapat berinvestasi pada instrument keuangan, pasar modal juga dapat menjadi sarana bagi pendanaan usaha dalam memperoleh dana dari pemodal ataupun investor yang dapat digunakan untuk pengembangan usaha,penambahan modal kerja, ekspansi dan lain-lain.
Dampak pasar modal terhadap perekonomian pun cukup penting, karena dapat menjadi suatu indikator perekonomian negara. Semakin meningkatnya kegiatan dan volume dari penjualan dan pembelian dalam pasar modal dapat mengindikasikan bahwa kegiatan bisnis dalam suatu negara tersebut berjalan dengan baik. Begitu juga sebaliknya.
Pendapatan negara pun juga bertambah apabila peningkatan voume dalam suatu pasar modal. Karena setiap dividen pasar pemegang saham akan dikenakan pajak, dari pengenaan pajak ini dapat meningkatkan pendapatan negara.
Namun sangat disayangkan rasio keikutsertaan penduduk Indonesia yang berinvestasi di pasar modal kurang dari 5 persen, tertinggal jauh dari Amerika Serikat (AS) dengan rasio mencapai 55 persen, Singapura mencapai 26 persen, bahkan Malaysia mencapai 9 persen. Sedangkan dengan berinvestasi dipasar modal para anak muda tidak hanya sekedar berinvestasi namun juga dapat mendukung kestabilan perekonomian negara.
Maka dari itu dengan mengedukasi tentang finansial kepada rakyat Indonesia diharapkan dapat mendorong laju investasi pasar modal seperti saham, reksadana, maupun obligasi di Indonesia. Juga dengan mempunyai keterampilan dalam pengelolaan keuangan Milenial dan Gen-Z juga tidak rentan jatuh pada kemiskinan setelah paham konsep dari dana darurat dan juga lebih mengedepankan menabung terlebih dahulu daripada mengutamakan pengeluaran yang dianggap kurang penting. Hal ini juga dapat mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
 Jika milenial dan Gen-Z Indonesia menjadi generasi melek keuangan, kekuatan ini juga dapat berpengaruh pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia di Indonesia. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melihat bahwa adanya hubungan di antara banyaknya masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam literasi keuangan dengan skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang ada pada negara tersebut melalui edukasi kemampuan keuangan (financial education).
Menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), kemampuan dalam melek keuangan akan berdampak langsung kepada peningkatan kualitas SDM, saat individu tersebut belajar bagaimana cara dalam menganalisa suatu masalah, mengambil keputusan, dan mengukur risiko dalam permasalahan ekonomi yang terjadi.
Secara perlahan kemampuan setiap individu ini dapat berdampak pada akselerasi angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia, khususnya pada kelompok masyarakat usia produktif.
. Upaya pemerintah dalam meningkatkan literasi keuangan salah satunya adalah dengan penerbitannya Strategi Nasional Literasi Keuangan (SNLKI) pada tanggal 19 November 2013. Strategi dari SLNKI adalah pertama dengan meningkatkan awareness dan pemahaman masyarakat mengenai lembaga, produk dan layanan dari berbagai jasa keuangan. Kedua, membangun masyarakat yang memiliki ketahanan keuangan yang kuat dalam menghadapi berbagai kondisi keuangan termasuk guncangan keuangan. Ketiga, meningkatkan jumlah pemanfaatan produk dan layanan jasa keuangan oleh masyarakat.
Kesimpulannya dengan meningkatkkan literasi keuangan kepada masyarakat tentunya dapat berdampak postitif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terlebih lagi dengan Milenial dan juga Gen-Z yang lebih menguasai bidang teknologi diharapkan mampu menggunakan internet untuk informasi tentang kemampuan dalam mengelola finansial. Selain mempelajari tentang pengelolaan keuangan, Milenial dan Gen-Z seharusnya dapat lebih menguasai instrument investasi yang berbasis online. Kebijakan pengembangan literasi keuangan Indonesia harus fokus tidak hanya pada program pendidikan keuangan pada tingkat pendapatan tinggi, tetapi juga pada tingkat pendapatan menengah seperti sekolah menengah dan atas.
 Dengan pemahaman yang baik tentang literasi keuangan Milenial dan Gen-Z secara merata tentunya dapat menurunkan persentase penduduk miskin dalam beberapa tahun mendatang dan juga dapat memudahkan kemajuan dari perekonomian Indonesia. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mempunyai tingkat well literate diatas 70% tentunya dapat lebih siap apabila Indonesia kembali mengalami krisis ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H